06/03/2024

Tentang sebuah kecelakaan

Di ruang guru, tempat duduk saya berada di deretan paling belakang, dekat dengan akses printer dan galon air minum. Otomatis, siapa saja yang memerlukan dua hal tersebut akan sering melintasai 'area' saya atau bahkan menyapa saya dengan cerita mereka. Tentu, posisi itu sangat menantang ... bila saya ingin berkonsentrasi melakukan sesuatu, saya perlu meningkatkan fokus ke level paling tinggi. Namun  posisi tersebut amat ideal bila ingin memanen cerita atau mengamati beragam karakter di sekitar saya. Posisi yang cocok untuk melatih kemampuan 'mengobservasi' untuk mengumpulkan ide menulis. Salah satunya akan saya tuliskan dalam cerita kali ini.


Kali ini saya akan bercerita tentang sebuah kecelakaan yang berada dalam satu kecamatan dengan rumah saya. Lokasi itu ternyata dilewati oleh rekan saya yang berdomisili di Krian. Lebih tepatnya, Senin lalu... saat rekan saya menggunakan printer untuk mencetak keperluan mengajar, dia tiba-tiba menepuk pundak saya dan bercerita dengan wajah syok kurang lebih begini, "Eh, tiba-tiba aku keingetan tadi pagi aku ketemu korban kecelakaan ditutupi koran. Ya Allah, aku ingat sekarang, padahal tadi lupa." Saya tentu prihatin kepadanya karena saya juga pernah mendapati korban kecelakaan yang ditutupi koran, yang artinya korban telah meninggal dunia. Tentu bayangan atas betapa sedih orang-orang yang menyayangi si korban membuat saya turut berduka.

Kemarin... saya mendapati adik saya bercerita bahwa di sekitar daerah tertentu ada kecelakaan. Korbannya meninggal setelah ditabrak mobil yang merk-nya sama dengan mobil yang ada di garasi rumah kami. Kejadian itu termasuk kecelakaan tabrak lari, yang artinya pengendara lain pun gagal mengejar pelaku beserta mobilnya.

Hari ini, kisah kecelakaan itu terungkap kembali dengan kesimpulan bahwa kecelakaan yang dilihat oleh rekan saya dan kecelakaan yang diceritakan adik saya adalah sebuah kecelakaan yang sama. Kesimpulan ini setelah saya cocokkan tempat kejadian kecelakaan, kondisi korban, dan kendaraan yang menabrak korban. Dari berita yang adik saya screenshoot dan dikirim ke grup wa keluarga, pelaku tabrakan ternyata sudah menyerahkan diri ke pihak berwajib atas desakan keluarganya. Kenyataan yang mengagetkan adalah saat diberitakan pelaku berdomisili di dusun tempat saya tinggal. Tidak lama kemudian... grup wa keluarga kami mendapatkan info terupdate tentang siapa pelaku sebenarnya dari ayah saya. Beliau me-chat salah satu tetangga yang dirasa sangat informatif terkait berita yang terjadi di daerah kami. 

Tanpa membayangkan secara berlebihan, keluarga korban pasti sedih saat menerima jasad kerabatnya pulang ke rumah. Hanya saja, saya sangsi akan ada orang yang berempati saat berada di posisi pelaku kecuali orang yang kenal dengannya. Yang jelas, saya amat ngeri bila harus membayangkan berada di posisi pelaku dengan korban parah dan meninggal dunia. Betapa ketakutan dan sebesar apa rasa bersalahnya dia menyebabkan seseorang menjadi korban, sampai memutuskan untuk mengakui dan menyerahkan diri ke pihak berwajib. Seberapa besar rasa takut pelaku? Seberapa cemas keluarga pelaku? Saya tidak tahu. Saya bukan dia, tapi jika itu saya... jelas saya akan merasa amat bersalah sekali. 

Menyikapi ketidaknyamanan saya membayangkan diri sebagai pelaku atau keluarganya, ibu saya menanggapi, "Ujian ne wong iku bedo-bedo." Sebuah pernyataan bahwa kita perlu menyadari bahwa ujian hidup kita (bisa jadi) tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan ujian hidup orang lain. Semuanya, sawang sinawang.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kesan dan pesan nya. Jangan kapok dan sungkan untuk berkunjung kembali :)