23/03/2013

Mengantri itu bikin beTe


Saya sudah berdiri lama di sisi kasir, tiba-tiba seorang ibu dan anaknya meletakkan barang belanjaannya yang tidak terlalu banyak, sekitar 3 item. Ya, dia telah mendahului saya yang telah berdiri di sana untuk membayar terlebih dahulu. Kejadian ini tidak sekali saya alami. Selama saya hidup, saya telah menemui kejadian ini berkali-kali. Hanya ada dua kejadian yang bisa diprediksi jika hal ini terjadi, diam mempersilahkan mereka menyerobot atau menegaskan kalau dia salah. Nah, sikap terakhir ini pasti berbuntut panjang karena pasti ada dalih “Cuma dikit aja”.

Ketika berbelanja di pasar, tidak semua pedagang memperhatikan antrian, terlebih mereka yang dagangannya laris manis diserbu pembeli. Pembeli mengambil sayuran dalam kresek lalu melemparkan ke timbangan si pedagang secepat ia bisa dengan harapan pedagang tersebut segera menimbang dan transaksi jual beli terlaksana segera. Jika berbelanja pada jenis pedagang seperti ini, kita bisa belajar beberapa hal. Pertama, ketika menerapkan sikap mengantri sesuai urutan datang, kita dapat belajar bersabar dan menahan amarah karena telah dilangkahi oleh pembeli yang baru datang dan ingin cepat-cepat dilayani. Kedua, kita jadi tahu prinsip para pembeli yang belum dilayani dan tidak merasa dirinya dilangkahi (sesuatu yang pernah membuat saya bertanya ‘mengapa ibu-ibu ini pasrah sekali atas apa yang terjadi’). Jawabannya adalah ‘disikno ae wong sing tuku titik, ndang mari ndang wes’ kurang lebih demikian: dahulukan saja orang-orang yang berbelanja sedikit supaya cepat selesai. Bayangkan, berapa banyak pembeli yang ‘menyalip’ orang-orang tertentu hanya karena berbelanja segenggam Lombok atau sebiji mentimun? Nah disinilah prinsip yang berlaku. Tidak sedikit diantara pembeli dan penjual memaklumi kalau “hanya membeli sedikit” pantas didahulukan. Lalu urutan mengantri/datang lebih dahulu tidak akan pernah berlaku di antara mereka. Kalau iseng bertanya “mau kemana toh bu kok terburu-buru minta didahulukan?”muncul sebuah jawaban, “mau segera pulang dan masak”. Lah kalau begitu saya kira semua pembeli juga setuju kalau ke pasar untuk berbelanja biar segera masak dan makan, siapa juga yang mau nonton lele menggeliat atau ngecengin pedagangnya? :D

Yah, meskipun tidak semua pedagang cuek atas urusan urutan ini, paling tidak saya bisa tahu pedagang mana yang menghargai kedatangan pembelinya berdasarkan urutan. Pedagang pun sebenarnya tahu tentang prinsip mengantri meskipun yang mengabaikan dan memilih "asal dagangan laku" pun juga tidak sedikit. Jujur saja, jauh sebelum tulisan ini ada saya sempat berpikir, mungkin saya jadi “sprinter” aja kaya mereka, lempar sayur ke timbangan dan berteriak untuk didahulukan agar saya tidak kehabisan barang yang ada, atau biar segera pulang ke rumah karena lapar melanda. Namun, saya masih ingat pesan ibu saya, “pembeli adalah raja. Pilih atau tinggalkan.” Simpel, namun perlu waktu beberapa detik mencernanya. Pas banget buat kita yang enggan “berkelahi” dengan sesama pembeli yang notabene lebih senior.

Hem,, eniwei.. kalau saya saja “tergoda” untuk turut berdesakan dan enggan dinomorsekiankan oleh pedagang di pasar, bagaimana saya akan mengajarkan bab mengantri pada orang-orang? Bagaimana cara saya untuk mengajarkan bagaimana bersikap menghargai orang sesuai urutan; yang artinya menghargai upaya seseorang untuk berangkat lebih dahulu dari rumahnya, yang mungkin saja lebih jauh daripada orang-orang yang datang belakangan. Mungkin, kalau ke supermarket, bank, layanan instansi yang melayani sesuai urutan kedatangan orang, mengantri jadi menyenangkan. Namun jika berada di lingkungan sosial yang saya ceritakan, saya harus bagaimana? Pesimis sekali rasanya. Ooo.. tentu tidak, masih ada kesempatan, untuk generasi yang akan datang agar terbiasa budaya mengantri. Yang jelas, saya tidak boleh begitu saja menyerah untuk tidak mengantri :)