04/03/2024

Saat doa terkabul

"Aduh hujan lagi," rutuk seseorang saat menyadari di luar ruangan sedang hujan deras dan menunjukkan tanda-tanda hujan belum akan reda dalam waktu dekat.

"Aduh panase dunyo," ujar seseorang yang masih berpengalaman hidup di dunia ketika merasakan hawa yang ada terasa gerah dan tidak sejuk.

Ucapan-ucapan demikian lazim terdengar di sekitar. Padahal, dalam kondisi berbeda...bisa jadi mereka berdoa tentang kondisi-kondisi yang berkebalikan. Semisal, pernah terucap ingin ada hujan atau ingin matahari bersinar terang benderang.

Bahkan tidak jarang saya juga mendengar pembenaran semacam, "Ya namanya juga manusia. Panas jaluk udan, nek wes udan jaluk panas."

Ucapan-ucapan yang sebenarnya kalau didengar-dengar dan direnungi bisa terasa kejanggalannya. Semacam, memang manusia bukan malaikat... sering meminta berganti-ganti keinginan...tapi apakah memang manusia harus merasa wajar bila di-cap sebagai makhluk yang tidak konsisten? Apakah cukup bersembunyi dan berlindung di balik pernyataan 'Namanya juga manusia'?

Salah satu contoh lain, ada orang berdoa.."Ya Allah berilah saya penghasilan yang halal." Kemudian orang tersebut ingin mendapat penghasilan lebih banyak dari yang diterima. Padahal.... Bisa jadi jumlah penghasilan yang ia terima sudah sesuai dengan apa yang ia doakan, yaitu 'penghasilan halal'...terlepas dari berapapun jumlah yang ia terima. 

Nah, pertanyaannya adalah 'Bagaimana sebaiknya sikap kita saat menyadari bahwa sebagian besar doa-doa kita telah terjawab? Apakah perlu merevisi doa? Apakah perlu mohon ampun atas apa yang pernah terucap tapi setelah dikabulkan ternyata terasa tidak nyaman? Atau jangan-jangan ... Kita terlampau sibuk mengharap banyak hal yang belum kita dapatkan tapi gagal menyadari doa-doa tertentu ternyata sudah terkabul?' Kalau terakhir ini yang terjadi, nampaknya kita perlu memperbanyak waktu untuk berdialog dengan diri sendiri. 

Lalu, apa tujuan saya menulis ini? Apakah saya menyindir orang-orang di sekitar saya yang senang berkeluh kesah? Tidak juga. Kehadiran mereka sebenarnya hanyalah sentilan bagi saya untuk memeriksa apakah saya juga berada dalam kondisi demikian. Hasilnya, ya ... bisa dibilang saya kadang masih berlindung di balik alasan, "Namanya juga manusia," saat merasa menjadi guru jaman sekarang tidak seringan angan-angan saya dulu. Masih marah-marah saat ada belasan siswa sangat tidak termotivasi menyelesaikan apapun yang saya tugaskan. Pun saat melihat penghasilan yang ada, benar-benar harus mengingat kembali kerja itu Lillahi ta'ala. Plus, saat menyadari menjadi single tidaklah mudah dan dikait-kaitkan dengan kurangnya A,B,C, dst oleh orang-orang tertentu... hal ini saya sadari bisa mengancam saya untuk tidak bersyukur atas kondisi saya sekarang ini. 

Memang ilmu saya masih dangkal untuk menyikapi bagaimana hidup yang baik di usia yang tidak muda lagi. Hanya saja akhir-akhir ini saya percaya dengan kebenaran QS. Ibrahim : 7. Ayat yang perlu saya ingat agar menyadarkan bahwa rasa 'cukup' itu perlu dilatih agar hati ini mampu mengenali doa-doa mana yang terkabul dan menerima sepenuh hati akan keni'matan-keni'matan yang Allah berikan pada diri ini. Sungguh, melatih diri untuk peka akan 'pemberian' itu tidak mudah. Singkat kata, menjadi hamba yang bersyukur itu perlu diusahakan... tidak terjadi secara tiba-tiba dan sekejap mata.

Semoga kita menjadi makhluk-makhluk yang tidak tamak dan senantiasa mampu berterima kasih atas apa saja yang telah kita terima selama ini.


No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kesan dan pesan nya. Jangan kapok dan sungkan untuk berkunjung kembali :)