Beberapa tahun yang lalu, saya begitu bahagia menyadari
bahwa e-book menjadi solusi ramah lingkungan. Sebuah bayangan tentang
berkurangnya pohon yang tertebang bisa menjanjikan stok oksigen melimpah di
negeri yang katanya ‘loh jinawi’ ini. Sayangnya, angan-angan saya itu rusak
setelah melihat sebuah video yang sempat viral sebelum pemilu April lalu.
Terlepas dari siapa yang mengedarkan video kontroversial itu,
saya sudah sadar bahwa konsumsi listrik di negara kita meningkat. Tidak perlu
membahas kebutuhan seluruh negara, kebutuhan orang per orang saja sudah bisa
dikatakan banyak. Tiap orang minimal memerlukan listrik untuk mengisi baterai
gawai, misal ponsel. Bergeser pada kebutuhan sehari-hari, ada kebutuhan
penerangan, kebutuhan menggunakan pompa listrik, kebutuhan menyetrika,
kebutuhan menonton televisi, kebutuhan menyimpan bahan makanan, dan masih banyak
yang lain.
Kembali pada video yang viral, saya yakin sebagian besar
warga negara Indonesia semakin sadar bahwa kebutuhan listrik yang banyak telah mendorong
eksplorasi besar-besaran sumber alam sebagai bahan penghasil listrik. Peristiwa
kerusakan alam yang timbul akibat pengerukan kekayaan alam juga tidak bisa
dipandang sebelah mata. Singkat cerita, kita perlu benar-benar bertanya pada
diri sendiri ‘Kita harus berbuat apa?’
Sebagai pembaca buku, menurut saya e-book merupakan alternatif pilihan
setelah buku cetak oleh sebagian orang. Tidak menutup kemungkinan, e-book bisa menjadi pilihan utama dalam kegiatan membaca oleh sebagian orang lain. Konsekuensinya,
siapa saja yang membaca e-book perlu menyadari bahwa kegiatan membaca e-book juga
memerlukan listrik.
Nah, kebutuhan listrik tanpa membaca e-book saja sudah
sedemikan banyaknya, apalagi ditambah kebutuhan membaca e-book? Bila e-book
tidak lagi mengungguli keberadaan buku cetak, adakah wujud lain yang lebih
ramah lingkungan daripada keduanya?