Judul
buku: My Grandmother Asked Me to Tell You She’s Sorry
Penulis:
Fredrik Backman
Penerjemah:
Jia Effeandie
Penerbit:
Noura Books
Cetakan:
Pertama/2016
Ketebalan
buku: 489 halaman
Kategori:
Novel
ISBN:
978-602-385-164-5
Rate:
4 of 5
Blurb
Pernahkah
kau merasa ingin pergi dari dunia nyata? Saat kau terasingkan, dan orang-orang
di sekitarmu tampak tak memerdulikanmu, bahkan seakan membencimu?
Elsa
sering merasa demikian. Misalnya, saat teman-teman menghukumnya hanya karena
tidak meyukai syal yang dikenakannya. Atau saat Elsa bicara jujur, mereka
mencemoohnya. Sangat jelas mereka membenci Elsa. Itu semua karena Elsa berbeda
dari anak lainnya.
Elsa
pernah bertanya, apakah menjadi berbeda itu salah? Nenek berkata bahwa menjadi
berbeda itu bagus, dan teman-temannya saja yang bodoh. Lalu nenek berkisah
tentang dunia yang berisi pahlawan dan mekhluk negeri dongeng. Negeri istimewa
yang hanya bisa dikunjungi anak-anak istimewa. Semenjak itu, Elsa sering pergi
ke negeri dongeng kapan pun dia mau, bersama Nenek, tentunya.
Sampai
suatu saat, Nenek tak bisa lagi menemani. Nenek harus pergi, sangat jauh,
sendiri. Sebagai permintaan terakhir, Nenek mengirim Elsa untuk menjalani
sebuah misi. Misi khusus yang hanya sanggup dijalankan oleh Elsa dan kelak bisa
mengubah jalan hidup siapa pun yang terlibat di dalamnya.
Menurut
saya, bagian cover buku ini cukup mewakili
apa yang tertulis dalam buku ini. Hujan dan anak kecil berpayung, cocok untuk
menggambarkan Elsa yang sedang berusaha melewati masa berkabung atas kematian
neneknya. Ditambah bagian belakang cover buku juga memberikan sedikit petunjuk
bagaimana Elsa di tengah teman sebayanya. Sesuatu yang cukup menimbulkan tanda tanya,
misi apa yang hanya sanggup disampaikan oleh Elsa.
Karakter
Hampir
sepertiga buku berisi detil dan deskripsi para karakter yang berperan dalam
cerita ini. Tidak hanya Elsa dan neneknya saja, tetapi seluruh warga yang
tinggal dalam gedung flat yang sama dengan Elsa dibahas. Saya sempat ‘menuduh’
penulis ini tidak fokus pada cerita Elsa dan Nenek karena ‘saking’ banyaknya
karakter yang bertebaran. Namun bertambah halaman, saya semakin paham bahwa Elsa harus menyampaikan pesan dan permintaan maaf nenek untuk mereka. Tentu
saja predikat karakter yang kuat dalam cerita ini tetap ‘dipegang’ oleh Elsa dan
Neneknya. :D
"Bolehkah aku meminjam telepon Nenek?"
"Untuk apa?"
"Untuk memeriksa sesuatu."
"Dimana?"
"Online."
"Kau menginvestasikan banyak waktumu di internet."
"Maksud Nenek, 'menghabiskan'."
"Maaf?"
"Maksudku, bukan begitu cara memakai kata 'investasi'. Nenek tidak
akan bilang, 'Aku menginvestasikan dua jam membaca Harry Potter dan Batu
Bertuah', kan?"
Nenek hanya memutar bola mata dan menyerahkan
teleponnya kepada Elsa.
"Pernahkah kau mendengar tentang seorang gadis
yang meledak karena terlalu banyak berpikir?" -- (hal.7)
Di
awal cerita, usia Elsa belum genap delapan tahun. Ia berasal dari keluarga ‘broken
home’, dan memiliki perbedaan kemampuan kognitif di antara teman sebaya. Itulah mengapa ia hanya akrab dengan neneknya. Selain itu, wikipedia adalah salah satu situs favorit Elsa untuk
mengakses informasi yang belum ia ketahui. Pendek kata, Elsa cerminan generasi
Z yang menggunakan teknologi secara efektif. Bukan untuk bersosial media,
tetapi untuk memahamkan dirinya atas sesuatu yang belum ia ketahui. Bahkan
tidak jarang, Elsa mengoreksi bagaimana Neneknya berbicara.
Kalau di negara kita, usia sekian sudah paham ‘cerita
si kancil anak nakal’ atau cerita nusantara yang lain, maka Elsa adalah versi ‘modern’
yang membaca Harry Potter di masa kanak-kanaknya. Ia juga mengenal Spiderman,
X-Man, dan beberapa cerita fiksi yang
saya pun belum pernah membaca atau menonton filmnya. Tentu saja, kebiasaan
membacanya ini bukan hal lazim di antara teman-teman seusianya. Ia pernah
berkelahi dengan teman sekelasnya hanya karena Elsa ingin memilih memakai
kostum Spiderman. Padahal, lazimnya anak perempuan akan memilih kostum putri,
bukan Superhero.
Meskipun Nenek terkenal nyentrik dan berperilaku
tidak sesuai usianya – mereka menyebutnya terlalu bersemangat, sewaktu muda
nenek adalah seorang dokter bedah. Tidak sekedar dokter yang berpartisipasi di sebuah rumah sakit, ia juga pergi menyelamatkan korban musibah tsunami dan peperangan.
Di sanalah nenek bertemu dengan orang-orang yang ditolongnya. Cerdas dan
berani, itulah gambaran Nenek. Tak berlebihan bila ia mewariskan bakatnya pada
Elsa.
Karakter lain yang tak terduga begitu banyak
dalam novel ini. Beberapa istilah juga digunakan untuk menyebut para penghuni
flat dalam dunia dongeng. Nenek dan Elsa menyebut seekor anjing besar sebagai ‘Teman
Kita’ atau ‘Wurf’, sesosok lelaki yang dikenal sebagai ‘Monster’ atau ‘Wolfheart’ ,dan banyak istilah lain yang mewakili para penghuni flat dalam dunia dongeng.
Plot
Cerita ini berselang seling antara dunia nyata
dan dunia dongeng dalam ingatan Elsa. Selama hidup, Nenek menceritakan
tokoh-tokoh rekaan dalam dunia 'Setengah-Tak-Terjaga'. Teruntuk pecinta fantasi, mungkin keberadaan cerita demikian bisa cukup menghibur. Sayangnya, saya agak
terganggu dan pusing saat mencoba memahami peralihan masa kini – ingatan dongeng
– masa kini lagi. Peralihan alur maju dan mundurnya ini tidak terpisahkan
dengan jelas. Tergantung bagaimana Elsa ingin mengingat nama atau peristiwa tertentu
dalam dunia dongeng. Cerita bisa beralih dunia dengan tiba-tiba.
Konflik
Tiap
mengantarkan satu surat dari nenek untuk penerimanya, Elsa pasti akan bertanya,
“Apa yang ditulis oleh Nenek?” Hampir semua penerima surat akan berujar, "Nenekmu meminta maaf." Namun Elsa bukan tipikal mudah puas atas jawaban yang
diberikan oleh lawan bicaranya. Mengingat bagaimana kritisnya Elsa, dia pasti
akan bertanya sampai akar. Ia selalu memastikan penerima surat benar-benar
menyampaikan apa yang dituliskan Nenek untuk si penerima. Lalu, apakah para orang dewasa
itu benar-benar langsung mau bicara? Tentu tidak, tidak jarang perdebatan
sengit terjadi ketika para penerima surat merasa tidak perlu membagi pesan
tertulis kepada Elsa. Tidak hanya diusir dan dimarahi, Elsa pun pernah hampir
diculik karena berkaitan dengan perbuatan Nenek di masa lampau. Suatu kondisi
yang cukup mengecoh saya di penghujung cerita.
Rekomendasi
Saya membaca beberapa reviewer merekomendasikan
bacaan ini untuk segala usia. Mungkin saya akan menambahkan, bacaan ini cukup
berat untuk dibaca anak-anak. Paling tidak, para calon pembaca sudah mengerti
novel Harry Potter dan sejenisnya, mengingat Elsa sering mengambil contoh peristiwa dalam novel-novel tersebut. Tidak semua anak (apalagi di Indonesia)
bercakap-cakap seperti Elsa; bercakap-cakap secara kritis. Mungkin, ada Kirana (balita yang menjadi model
buku 'Happy Little Soul') yang saya duga bisa menjadi seperti Elsa suatu saat
nanti, versi yang lebih ‘Indonesia’ tentunya. Elsa, cukup oke bila dijadikan
model dalam melatih berbicara dan berterus terang, tetapi belum memperhatikan
etika dalam berbicara dengan orang yang lebih tua. Sesuatu yang kurang berkenan
di negara kita. Tentu saja kondisi Elsa 'berbeda'. Bagaimanapun juga, kalau
buku ini dibaca anak… siapa saja yang mendampingi perlu sadar dulu kalau buku
ini adalah fiksi dari 'western country'. :D