10/07/2014

My opinion about fanfiction

Initially, I wasn't intend to visit a fanfiction’s blog. As I was bored toward political news and many things scattered in my facebook’s timeline, I tried to back to my old habit. Somehow, I like to browse random news, visit many blogs and (sometimes) read some stories made by people who love certain fictional characters or several celebrities in the world; fanfiction.

Fanfiction is a kind of fiction story written by fans of certain characters. The characters could be some members of a famous boy/girl band nowadays, several charming actors and actresses of dramas, some of fiction characters based on a novel or a manga, and so forth. These writers use those existing characters as main roles in their story. Therefore, we – as visitor and reader – can imagine the visual of those characters easily.

This fictional story is divided into several genres. It looks like genre in novel and manga such as comedy, angst, fluff, horror, action, history, alternate universe (AU), etc. However, a story could consist of some of those genres mixed. As far I know, as long as I get a good written story, I can enjoy twisting plot or unpredictable action through the story. However, when I feel uneasy to read certain story, I will leave it.

06/07/2014

Tiga hari lagi



Beberapa hari lagi pemilihan presiden RI akan diselenggarakan. Setelah mengakui keberadaan Golput yang nyata kebenarannya, maka kali ini kita akan sedikit menyinggung para anggota Komisi Pemilihan Umum yang telah berusah payah menekan angka Golputers (sebutan warga yang Golput versi saya).

Meskipun tidak banyak yang saya perhatikan – saya tidak terlalu larut mengikuti berita yang semakin bias – paling tidak… ada satu upaya KPU yang paling mencolok yaitu adanya penyelenggaraan acara debat capres-cawapres 2014. Menurut saya, acara ini bisa menjadi upaya KPU menekan angka golput tahun ini melalui “pengembalikan minat rakyat atas kecakapan kandidat”. Paling tidak… kita bisa melihat para kandidat tersebut berkomunikasi menyampaikan ide dan gagasannya di depan publik. Paling tidak… kita bisa melihat bagaimana beliau-beliau tersebut akan tampil di depan perwakilan Negara lain suatu saat nanti. Paling tidak… kita pernah mendengar “cita-cita” logis para kandidat sebelum akhirnya kita berharap bahwa apa yang dikatakan beliau-beliau itu bukan sekedar menarik hati rakyat saat kampanye, tetapi tetap menarik dan terwujud sampai waktu selesai masa jabatan nanti. Paling tidak… kita telah menjadi saksi dari apa-apa yang pernah kita dengarkan bersama dari “janji-janji” beliau sehingga kita bisa mengungkit kembali ingatan itu suatu ketika dengan kekuatan media yang sudah tentu sangat mengerikan saat ini. Paling tidak… para kandidat presiden-cawapres kita… tidak kalah dengan ajang kontes kecantikan yang melibatkan interaksi menjawab pertanyaan yang diajukan juri saat mereka memasuki 5 besar.

Akan tetapi, sepertinya para Golputers tidak begitu saja percaya atas hasil debat yang ada. Salah satu alasan yang saya ketahui mungkin masalah kepercayaan. Rasa takut untuk dikecewakan kemudian hari tentu masih ada. Tidak mengikuti “permainan” pilih memilih pemimpin pun dianggap wajar oleh mereka karena hanya semacam penggunaan hak, bukan sebagai kewajiban. Namun perlu diketahui bahwa jika ada sejuta warga penduduk pemilih aktif dan setengahnya adalah golput, maka siapapun calon pemimpin yang terpilih dari setengah jumlah penduduk tersebut tetap menjadi pemimpin yang sah tanpa memperdulikan golputers. Nah dengan demikian, jika suatu saat nanti ada kebijakan yang tidak berkenan dari pemimpin yang terpilih, apakah para Golputers ini tetap diam saja tanpa berkomentar? Dengan kata lain, masih berhak-kah mereka berkomentar? 

Akhir kata, bagi saya, tetap menggunakan hak pilih atau menjadi golput merupakan hak bagi tiap-tiap  individu. Asal tiap orang menghargai dan sadar diri atas apa yang terucap ataupun terketik untuk orang yang lain, saya rasa kita tidak perlu terlibat drama kehidupan yang menghapuskan amal kebaikan dalam hidup ini. Kita tidak lama tinggal di dunia ini, tak perlu lah menggunakan waktu yang sedikit ini untuk sekedar saling membunuh. Selamat menyambut pemilihan presiden dan wakil presiden 2014.

04/07/2014

Meteran listrik prabayar

Akhir-akhir ini, sebagian pelanggan layanan listrik negara atau biasa kita kenal dengan PLN, telah menjadi pengguna listrik prabayar. Tidak hanya pelanggan baru yang pertama kali memasang alat meter listrik pada rumah/bangunannya, tetapi sebagian pelanggan lama bisa beralih menjadi pelanggan listrik prabayar. Tentu saja tindakan pengajuan peralihan ini diikuti dengan penggantian 'alat meter listrik' yang digunakan, mengganti meter listrik pasca bayar menjadi meter listrik pra bayar. Sesuai nama yang saya sebutkan, kedua alat meter tersebut mempunyai perbedaan tampilan pada tersedia atau tidak-nya 'keypad' atau tombol angka untuk mengetikkan nomor token listrik.

alat meter listrik
Nah, salah satu permasalahan yang timbul dari penggunaan 'alat meter listrik' prabayar ini adalah bunyi yang dihasilkan alat ini ketika pulsa yang tersedia menipis. Kira-kira ini terjadi ketika angka 4 'terdisplay' pada layar. Kemudian lampu indikator berwarna merah juga berkedip-kedip. Memang tidak seluruh alat meter listrik tiap pengguna listrik prabayar akan menghasilkan bunyi dalam kondisi tersebut (sesuai edisi keluaran waktu tertentu, dan mungkin jenis tertentu), alat tersebut mampu menghasilkan bunyi yang cukup mengganggu istirahat tetangga dekat rumah kita. Tentu saja cara yang paling benar untuk menghentikan bunyi tersebut adalah dengan mengetikkan token baru pada alat tersebut. Namun jika kondisi kita tidak memungkinkan untuk membeli token saat itu juga, ada satu cara yang bisa saya bagi di sini.



Merujuk pada gambar yang ada, kita dapat menemukan tombol berwarna merah dengan tanda panah yang berfungsi seperti tanda 'enter' pada keyboard PC/Laptop. Nah, ketika persediaan pulsa menipis, dan alat ini mengeluarkan bunyi "tit...tit...tit...tit...tit..." yang tidak terlalu pelan, maka segera tekan saja tombol merah tersebut. Seketika, bunyi pun berhenti dan kita bisa beristirahat, atau segera membeli token listrik yang baru. Selamat mencoba.

01/07/2014

Be wise



Sudah bukan hal yang mengagetkan dan bahkan menjadi hal yang lumrah ketika kita mendengar, membaca, atau bahkan mungkin merasakan “bagaimana enak nya tinggal di luar Negara Indonesia” (untuk Negara yang lebih maju tentunya). Beragam kemudahan transportasi seperti kartu akses berlangganan untuk transportasi umum yang bisa diisi ulang, bebas polusi, minim penjambret, tata kota dan lalu lintas yang nyaman, serta berbagai hal yang menjadikan pertanyaan, “mengapa negaraku tidak seperti ini ya?”

Bisa dibilang semua itu hanya “permukaan” yang bisa kita lihat. Maksudnya?? Ya, “permukaan” yang kita lihat dan kita rasakan tanpa tahu kejadian apa saja dan bagaimana semua proses yang dilalui oleh Negara kita dan Negara lain lalui sehingga menjadi Negara-negara saat ini. Benarkah kita benar-benar hidup dan merasakan proses "berjuangnya" tiap Negara menjadi seperti saat ini? Atau jangan-jangan kita hanya melihat Negara-negara yang ada di dunia secepat melirik atlas atau meraba permukaan globe hanya dengan sekali putaran? Kemudian dengan ringan-nya membandingkan antara satu Negara dengan dengan Negara yang lain, atau bahkan berkesimpulan bahwa Indonesia begitu buruk dan tidak layak huni. Ingat temans.. banyak hal yang perlu diperhatikan jika ingin membandingkan antara negara satu dengan yang lain. Jumlah penduduk, iklim, geografis, budaya, serta hal-hal yang tak mampu saya sebutkan bisa menjadi “pengganjal” jika kita ingin menyimpulkan sesuatu dengan mudahnya. 

Jika teman-teman pernah berkesempatan ke Negara lain yang lebih rapi dari Negara kita, mungkin kita akan mulai berpikir: “transportasi umum di tempatku kok kurang nyaman ya? Kenapa tempatku banjir ya? Kenapa berlalu lintas di tempatku ga tertib ya.. dan sejuta pertanyaan lainnya. Namun, setelah mengajukan bermilyar pertanyaan yang mungkin tak terjawab saat itu juga, sempatkan beberapa waktu luang untuk sekedar berusaha menjawab mengapa kita perlu mengemukakan pertanyaan-pertanyaan itu. Benarkah pertanyaan itu hanya sekedar untuk mewujudkan Negara sendiri sesuai dengan preferensi kita setelah melihat tempat lain? Apakah pertanyaan itu membawa kita turut menciptakan kondisi Negara yang lebih layak untuk kita tinggali tanpa harus merasa “tertekan” karena kalah dengan Negara lain? Atau jangan-jangan kita memang memilih pilihan mudah untuk mencari tempat yang lebih layak karena tidak mau repot untuk bersama membuat Negara ini lebih baik?

Apapun pilihan jawaban teman-teman, mohon jangan menjelek-jelek kan Negara Indonesia ini. Jikalau kalian enggan bergabung untuk mewujudkan Negara ini untuk menjadi lebih baik, silahkan simpan saja komentar negatif yang ada, tanpa perlu “menggembosi” semangat rekan-rekan yang berjuang dengan gigih demi melanjutkan hidup agar Negara ini semakin baik. Tidak ada yang mudah dalam hidup ini, namun kemungkinan untuk terwujdnya sesuatu yang lebih baik masih tetap terbuka selama kita mau berusaha dan membungkam keluh kesah yang ada.