Tertohok, demikian saya menyebut kondisi
sekitar lima tahun yang lalu ketika mendengar seorang pengajar berujar, “dari
mana kamu dapat sumber itu? Siapa yang membuat buku itu? Ingat, selama manusia
yang membuatnya, kesalahan pasti ada, karena dia bukan Allah. “ (demikian salah
satu wejangan yang saya dengar ketika teman mempresentasikan sebuah materi. Di
satu sisi saya sangat bersyukur karena pengajar saya adalah orang beragama). Dari
situ, saya mencoba-coba ingat bahwa bertahun-tahun hidup saya lewati dengan
menelan mentah-mentah banyak karya manusia. Menganggap bahwa membaca buku-buku adalah kegiatan mencerahkan.
Tidak pernah terpikir bahwa setiap penulis menggunakan “kacamata” nya sendiri
untuk memaparkan “fakta” menurut sudut pandangnya. Sampai akhirnya, saya
benar-benar menyadari bahwa buku apapun itu merupakan sebuah ide dari seseorang
yang didukung oleh apa saja yang bisa dijadikan bukti untuk memperkuat apa yang
disampaikannya. Membuka sebuah buku berarti harus siap atas peperangan ide yang
ada. Ide penulis dan ide pembaca itu sendiri.
Tahun-tahun sesudah itu,
bacaan-bacaan di manapun semakin “terlihat” tujuannya. “oh, ini hanya mencari
sensasi”, “oh, ini cukup informatif dan memperingatkan kita untuk waspada
dengan standar yang penulis berikan”, hingga “oh, ini tema yang sangat krusial
untuk dikembalikan kepada prinsip tiap orang”, dan lain sebagainya. Bagaimana
pun juga, membaca memerlukan keterampilan penilaian.