17/02/2024

Perkara merendahkan

Rabu lalu saat mendatangi TPS, saya hanya mengira antrinya tidak terlalu lama. Nyatanya, saya antri hampir 2 jam dan tidak membawa buku bacaan. Sepanjang waktu itu saya hanya sibuk kipas-kipas pake kardus minuman kemasan, mendatangi petugas KPPS untuk nanya kapan saya bisa nyoblos, menyapa tetangga, chat teman-teman apakah mereka masih antri nyoblos atau sudah rebahan, lalu sesekali melihat story Instagram, dan tentu saja 'menangkap' percakapan-percakapan di sekitar saya. Kegiatan terakhir inilah saat dimana satu "ujian" kehidupan saya dimulai. 

Awal-awal saya mengantri, kata-kata yang terdengar adalah percakapan receh nan menghibur.
"Iki ngga ono jajane ta?" Celetuk salah satu Ibu-ibu yang sudah senior dan duduk di deretan paling depan. Mungkin beliau melihat buah-buahan dan kue basah di piring-piring di depan para petugas.
Saya hanya membatin, "Dudu kondangan Iki Bu."🤣 Rupanya Ibu ini terbawa susasana kondangan karena mendengar musik dangdut yang mengalun keras dari speaker di belakang saya duduk.

Apakah petugas KPPS tergerak hatinya untuk menawari beliau sepiring sajian di depan mereka? Tidak juga. Antara tidak peka atau memang sadar konsumsi hanya untuk panitia, saya melihat mereka tidak meladeni celetukan tersebut. Hanya saja, ada ibu-ibu di baris kedua menerima segelas es teh yang merupakan sajian untuk panitia. Waduh... Sepertinya jalur kekerabatan memang masih bisa ditemui dalam hal se-simpel es teh. 😁

Kemudian, saya mendengar percakapan yang tidak kalah menggelitik dari dua orang yang saling bersahutan.
"Panase rek, enak awakmu panas-panas oleh duwik," ujar salah satu ibu yang duduk di deretan ke-2 sambil menatap seseorang di deretan saksi.
"Diungkittttt manehhh," jawab seseorang yang diajak bicara tadi sambil mengipas-kipaskan kardus di depan wajahnya. 
Rupanya candaan online orang-orang yang bekerja saat pemilu juga mewabah di antara orang-orang ini. Update juga mereka.😁

Terakhir, pembicaraan illegal yang tertangkap telinga saya. Pembicaraan ini berasal dari dua orang yang lebih muda dari saya.
A : Saiki kuliah Nandi?
B : Ngga kuliah. Ga ketrimo pas daftar wingi.
A : njupuk opo?
B : **** (maaf saya sensor)
A : Lho bukane iku ga tapek duwur ya, kan gampang ae...
...dst... 

Yang langsung membuat saya membatin, "Diawur ae arek Iki, kabeh-kabeh prosomu gampang! Nek ngomong ga disaring."😡

Maaf, saya tidak mampu mengikuti lagi percakapan selanjutnya. Saya merasa ter-trigger untuk mengometari ucapan tentang "semua sama". Saya langsung berusaha mengalihkan fokus agar percakapan itu tidak terdengar telinga saya. Saya harus tahu diri untuk tidak ikut campur.

Memang, masih ada orang yang menganggap bahwa semua yang terjadi di dunia harus sama dengan apa yang dia pikirkan, alias standar penilaian yang sama. 'Mudah' bagi seseorang belum tentu 'mudah' bagi orang lain. Contoh nyatanya adalah ada murid yang mengerjakan ujian secara jujur bisa dapat nilai 100, tapi ada juga yang hanya mendapat 20, jelas berbeda kemampuan bukan? Ada seseorang yang mampu belajar hanya 2 jam tapi ada juga orang yang perlu belajar selama 5 jam untuk memahami satu materi, dsb. Begitu juga kemampuan ibu-ibu berkendara di jalan, kemampuan tawar-menawar, dan berjuta kemampuan lainnya. Intinya, saya menganut paham, 'kemampuan tiap orang itu berbeda.'

"Gitu aja ga bisa," 
"Aku ngga habis pikir kok ada orang seperti itu," atau ucapan yang lebih ekstrim, "Goblok!" Biasa saya dengar dari orang-orang yang menganggap kalau semua orang pasti punya pandangan yang sama dengan dia atau standar yang sama. Dampaknya, jelas lawan bicara akan merasa dihakimi, tidak nyaman, dan gagal. 
Dari situ saya menyimpulkan bahwa membawa buku bacaan jauh lebih aman daripada "diperdengarkan" pembicaraan orang lain yang mampu men-trigger saya berkata julid. Bisa-bisa saya nge-gas dan  merendahkan si A hanya karena saya mengetahui dia berpaham berbeda dengan saya. Lalu apa bedanya saya dengan dia? 

Yah saya juga tidak tahu, apakah keengganan saya membawa buku waktu itu merupakan "ujian" untuk saya dalam menyikapi pembicaraan yang bukan melibatkan saya? Apakah ini ujian agar saya terlatih tidak turut campur? Yang jelas saya masih perlu meningkatkan skill untuk tidak berbicara 'asal' dimana saja. Tidak mudah berbicara kalem tanpa ada rasa ndredeg kepingin marah di dalam dada dalam kondisi demikian. Kondisi saat mendengar hal yang sensitif. Memang idealnya, berbicaralah seperlunya saja. Ya, saya sedang berlatih dalam hal ini. Sikap tidak menanggapi tanpa rasa jengkel di hati.

astaghfirullah hal adzim

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kesan dan pesan nya. Jangan kapok dan sungkan untuk berkunjung kembali :)