31/07/2024

Kunjungan yang berkesan

Kemarin, saya diajak koordinator ekstra kurikuler untuk menemani 7 murid dan beberapa wali murid berkunjung ke sebuah puskesmas demi mengonsultasikan gizi dari hasil penelitian yang mereka buat untuk lomba bulan depan. Bersama beberapa pengajar, pagi ini saya juga masih menemani murid-murid berkunjung ke sebuah SLB untuk mensosialisasikan hasil penelitian mereka bekerjasama dengan puskesmas yang kami kunjungi kemarin. Hasilnya, alhamdulillah walimurid dan murid-murid SLB menyukai produk dari penelitian yang dibuat murid-murid di sekolah kami.

Sebenarnya kunjungan ke SLB ini jaraknya tidak terlalu lama dengan waktu saat saya menulis How was your day. Saat itu saya mengamati seorang Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) ditemani oleh neneknya. Setibanya di SLB, saya mendapati hampir 100 anak dengan kebutuhan khusus yang berbeda-beda. Bangunan sekolahnya merupakan bagian dari sebuah perumahan dengan beberapa ruang kelas yang tidak sebesar di kelas-kelas sekolah kami. Bahkan dalam satu kelas bisa dibagi menjadi beberapa kelas dengan jumlah siswa yang tidak sebanyak sekolah reguler. Tentu saja jumlah per kelasnya hanya beberapa anak saja, tapi perhatian dan tenaga yang perlu diberikan pengajar SLB kepada murid-murid tersebut berlipat-lipat besarnya melebihi perhatian seorang guru terhadap murid "biasa" yang berjumlah sekitar 36-37 orang.

Di satu kesempatan saya bertanya kepada kepala SLB tersebut, "Kira-kira standar apa yang dipakai untuk meluluskan siswa dari sekolah ini, Bu?" Beliau hanya menjawab kurang lebih,"Semua anak akan lulus pada waktunya, tidak ada yang tinggal kelas. Kalau lulus ya lulus. Karena ada anak masuk sekolah sampai lulus pun tulisannya masih seperti rumput ya tetap diluluskan. Dia mampunya hanya begitu, mau bagaimana lagi." Kurang lebih, goal dari lulusan sekolah ini semacam kecakapan diri. Baik itu merawat dirinya sendiri atau keahlian untuk bekal selepas dari sekolah tersebut. Bayangkan... rasanya saya susah menahan air mata ini biar tidak tumpah. Untung tidak nangis, bisa memalukan sekali. 😆Aduh, sungguh saya ngga kuat melihat anak-anak itu, beserta ketabahan para guru-gurunya. Mereka mayoritas perempuan, gesit memegang anak-anak yang mudah tantrum tanpa meninggikan suara, cekatan bila ada yang muntah atau buang air tiba-tiba, dan yang jelas ... saya belum tentu mampu seperti mereka.

Ada anak-anak yang ternyata tuli saat saya mencoba menyapa mereka dari belakang. Lalu gurunya pun menyuruh mereka mengenalkan diri memakai bahasa isyarat dan mengucapkan siapa namanya. Itu pun perlu waktu beberapa menit agar mereka bisa sempurna "berbicara" dengan saya. Ada anak yang sedang duduk tidak melakukan apa-apa di kursi dan gurunya bercerita bahwa kemampuannya duduk tenang di kursi itu termasuk pencapaian anak tersebut. Dia saat awal masuk sekolah masih tidak bisa duduk, bergerak ke sana-kemari. Kemudian ada juga jenis kebutuhan khusus karena muncul bukan karena sejak lahir, seorang anak tidak bisa mengontrol dirinya sendiri alias tantrum saat merasa tidak aman. Kondisi ini akibat trauma setelah ditampar ayahnya. Dia pernah membanting laptop sang ayah saat tidak diperhatikan, tetapi sang ayah kesal dan menampar si anak. Jadilah si anak trauma.😢

Di SLB ini saya mengakui bahwa ABK memerlukan penanganan khusus. Perlu orang-orang yang mempunyai ilmu untuk mengajarkan bagaimana ABK mampu menguasai diri mereka sendiri. Tidak hanya ABK yang cacat indera sejak lahir, tetapi juga ABK yang mengalami gangguan kognitif, syaraf, trauma, atau apapun itu jenisnya yang tidak mampu saya jelaskan dengan benar di sini. Bukan pada tempatnya bila ABK, khususnya yang ber-IQ di bawah 60 bersekolah di sekolah biasa.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kesan dan pesan nya. Jangan kapok dan sungkan untuk berkunjung kembali :)