27/05/2024

Tujuan

Tadi di sekolah, ada satu kejadian di antara sekian kehebohan pendaftaran murid dari SMP ke SMA. Tentang seorang ibu yang mempertanyakan apakah bisa mengganti pilihan sekolah tujuan karena anaknya tidak berkenan masuk ke sekolah yang dipilihkan ibunya. Tentu saja beliau diarahkan pada pihak yang lebih berkompeten untuk menjawab, mengingat hak mutlak akses pendaftaran online ke jenjang SMA/SMK Negeri di Jawa Timur bukan di sekolah kami. Pendaftaran jenjang SMA/SMK Negeri terpusat oleh Pemprov (misal Pemprov Jawa Timur), bukan kabupaten.

Saya tidak tahu bagaimana ending-nya, hanya saja saya teringat kasus serupa merupakan kasus 'tak lekang waktu'. Sejak dulu saya sudah pernah mendengarnya. Waktu itu, saya persiapan memasuki jenjang perguruan tinggi. Ada guru-guru yang bercerita tentang perseteruan antara orang tua dan anak yang memiliki minat berbeda tentang jurusan-jurusan di perguruan tinggi. Belum pernah bertemu perseteruan antara anak dan orangtua tentang pemilihan jenjang SMA/SMK. 

Kembali ke cerita murid saya, sang ibu memilihkan SMK Negeri baru 'boarding school' di suatu kota di Jawa Timur, jauh dari domisilinya sekarang. Tadi beliau bercerita memilihkan sekolah tersebut agar anaknya tidak perlu mikir atau bersaing ketat untuk mendaftar sekolah negeri yang lebih dekat. Dengan pertimbangan sekolah pilihan ibu adalah jenis sekolah baru dan memiliki peluang mudah masuk, (saya tidak tahu siapa yang mengeklik pilihan di web, kemungkinan si anak sendiri) dan si anak mau memilih sekolah yang jauh itu. Ternyata, setelah menyelesaikan pendaftaran, si anak tidak bisa memilih sekolah lain baik itu SMA atau SMK Negeri di kota terdekat. Di sinilah masalah muncul. Ternyata, dalam satu kali pendaftaran, hanya satu sekolah negeri di provinsi Jawa Timur. Akhirnya, si anak pun kecewa berat, putus asa, enggan sekolah karena merasa salah duga bisa memilih sekolah lebih dari satu. Sad 😢 

Ngomong-ngomong... perkara pilih memilih 'sesuatu' dalam hidup ini memang perlu seni bernegosiasi. Ada orang tua yang ingin anaknya memperoleh hal terbaik, ngga ingin anaknya capek-capek berjuang masuk negeri terdekat, jauh pun ngga masalah... tapi di sisi lain ada anak yang ingin merasakan mencoba berjuang dulu sekolah negeri terdekat. Ibu dan anak ini sama-sama punya tujuan ingin masuk sekolah negeri, hanya saja masing-masing punya pertimbangan yang berbeda. Bisa dibilang... seni negosiasi agaknya perlu dikuasai anak sejak dini ya...

Saya paham mengapa ada sebagian orang tetap memilih sekolah negeri walau kualitas sekolah negeri sekarang berbeda dari yang dulu. Ada bantuan pembiayaan pendidikan alias biaya lebih murah di banding swasta. Begitu juga kondisi universitas negeri, uang semester jaman saya dulu alhamdulillah terjangkau... tidak meroket seperti jaman sekarang*. Saat jaman saya dulu, jelas perseteruan anak dan orang tua terasa saat mendaftar universitas. Tidak sedikit anak memilih jurusan mengikuti kemauan orang tua. Hasilnya? Beragam. Ada prediksi orang tua yang sesuai, anak pun enjoy dan 'ketagihan' belajar hingga jenjang yang lebih tinggi. Ada juga yang tidak menunjukkan hasil yang diharapkan. Melihat kejadian-kejadian yang ada, saya bersyukur tidak muncul konflik perkara mendaftar kuliah atau sekolah jenjang sebelumnya. Memang saya hanya mendapat batasan pilihan beberapa jurusan karena pertimbangan tertentu. Uniknya... lewat SPMB-IPC... saya diterima di satu tempat dan membuat saya sempat merasa, "Sepertinya... saya salah jurusan." Wkwk


*Beberapa waktu lalu ramai kenaikan UKT dan ada isu ketidakmampuan mahasiswa membayar biaya kuliah akan diatasi dengan adanya pinjaman/student loan. Cara ini pernah saya dengar dan berlaku di satu kampus luar negeri, tetangga Indonesia sebelah selatan. Hanya saja saya kurang ilmu untuk sekadar "ngrasani" plus minus si student loan ini. Tentu, bila kuliah dijadikan gratis (bukan beasiswa), keefektifan untuk memancing remaja belajar di jenjang lebih tinggi juga perlu diamati dan menjadi bahan untuk mengkaji ulang kebijakan yang ada. Karena di sekitar saya, yang rajin di sekolah negeri itu ada, dan yang malas pun tidak sedikit jumlahnya.😁

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kesan dan pesan nya. Jangan kapok dan sungkan untuk berkunjung kembali :)