29/01/2024

Perjalanan Istimewa

Hi, I'm back.

Sebelumnya saya akan menyampaikan bahwa saya menuliskan ini dalam rangka "mengingat". Bukan pula berniat pamer atau hal-hal lain yang tidak saya ketahui sebabnya.... sesuatu yang bisa menahan saya memosting foto atau video yang berkaitan dengan perjalanan istimewa ini di medsos saya lainnya seperti instagram dan whatsapp. Saya merasa bisa membagikan cerita di sini karena lebih tenang dan sudah berjarak beberapa bulan dari perjalanan tsb.

September tahun lalu saya tidak menyangka bisa menginjakkan kaki di Negara Saudi Arabia. Bisa dibilang proses keberangkatan itu sat set wat wet. Berawal dari ibu saya yang berkelakar menjelang masa purna mengajarnya di suatu sekolah, "Sepertinya enak ya umroh saat pensiun" dan berakhir dengan kenyataan tak terduga bahwa saya menjadi plus one dalam perjalanan istimewa kedua orangtua saya. Selanjutnya, saya akan menuliskan pengalaman atau kesan selama persiapan dan perjalanan pergi pulang, bukan catatan do'a-do'a, bukan tentang rukun umroh dkk. Lalu tentang apa? Tentang bagaimana merasakan persiapan, sampai di tujuan, dan sepulang perjalanan. Oiya, semoga tidak bosan ya. Andaikan tidak kuat membaca... boleh meninggalkan dengan segera. Gratis! πŸ˜€

Persiapan

Secara ilmu, kedua orangtua saya sudah sangat mumpuni karena sudah pernah menunaikan ibadah haji belasan tahun yang lalu, mereka bisa membaca ulang buku panduan sambil mengobrolkan letak-letak dan suasana tertentu di sekitar Makkah-Madinah. Berbeda dengan saya yang amat minim dan kurang mampu membayangkan apa yang mereka bahas. Alhamdulillah orangtua saya masih menyimpan buku panduan haji mereka dan bisa saya pelajari di sela rutinitas 6-16 (berangkat mengajar sekitar pukul 6 pagi dan berada di rumah sekitar pukul setengah 4 sore). Paling tidak, saya akan punya sedikit bekal.

Kira-kira bulan Juni, setelah menyerahkan berkas-berkas tertentu pada Bu Luluk sebagai perwakilan travel yang dipercaya ibu saya, saya menemukan fakta bahwa mengurus paspor di kantor imigrasi lebih aman  daripada mengurus secara online, demi menghindari "hangusnya pembayaran" karena kesalahan pemilihan menu, lebih leluasa bertanya-tanya perihal mana yang perlu dipilih antara 'penggantian paspor' atau 'pembuatan paspor baru'. Dari kejadian ini saya mengetahui bahwa orangtua saya perlu mengambil formulir 'pembuatan paspor baru' walau pernah mempunyai paspor haji, bukan mengambil formulir 'penggantian paspor'. Kemudian, bagi siapa saja yang pernah punya paspor bukan paspor haji dan expired.... cukup memilih formulir 'penggantian paspor'. Tentu saja informasi ini tidak bisa saya jamin bakal terjadi selamanya seperti ini. Saran saya, teman-teman yang bingung masalah per-paspor-an ini harap mendatangi kantor imigrasi terdekat saja. Bisa jadi peraturan berubah tiap sekian masa sekali.

Dokumen selain paspor yang perlu dibawa saat memasuki negara lain adalah visa atau e-visa. Oiya, saat e-visa keluarga saya rilis, saya mendapat kabar bahwa kami akan bergabung dengan kelompok dari travel lain dari Malang (Bila ingin bertanya lebih lanjut tentang travel ini silakan japri saya saja ya). Alhamdulillah e-visa dan e-tiket perjalanan kami untuk umroh rilis tanpa masalah, kami menerimanya sekitar 1,5 bulan sebelum keberangkatan, di share dalam sebuah grup whatsapp. Sangat melegakan, tidak seperti dulu, saat saya mendapat e-visa ngepres karena diduga masalah nama dan e-visa itu akan digunakan untuk masuk negara 'non muslim' (Misal besok jam 7 pagi check in bandara, maghrib malam baru rilis e-visa) diduga karena nama saya terasa ada 'islam-islam-nya' dan negara itu sedang ketat menerima masuk orang islam dari mana saja.

Selain dua dokumen penting didapatkan, selanjutnya adalah membuat surat ijin cuti. Tentu surat dibuat setelah menemui kepala sekolah, waka kurikulum, koordinator mapel, Ketua TU, dan rekan-rekan se-mapel terlebih dahulu. Alhamdulillah... saya diijinkan, itupun dengan pertanyaan jenaka sebelum saya nyatakan akan pergi umroh, "Mau kemana ijin tidak mengajar?" rata-rata akan mengira saya akan ijin cuti menikah karo sopo?. πŸ˜…. Tentang tugas mengajar, kebetulan ada mahasiswa yang sedang magang di sekolah dan berkenan menggantikan saya saat cuti. Lagi-lagi... alhamdulillah... sekali lagi saya dapat kemudahan.

Persiapan lain seperti persiapan fisik juga secara tidak sadar sudah saya lakukan. Lebih-lebih keberangkatan umroh diundur di bulan September setelah direncanakan akan berangkat Agustus. Kebetulan saya menjadi panitia Agustus-an di sekolah, yang artinya tanpa diniati gerak, sudah harus gerak mengurus kegiatan. Urusan makan juga saya lebih berhati-hati mengurangi jajan semacam mi gacoan, mi instan, dan apa saja jajanan yang bisa menambah drama kesehatan saya yang malah manurun saat mendekati keberangkatan. Lalu urusan pakaian juga tidak terlalu ribet karena saya bukan fashionista, rata-rata baju saya pilih kembaran dengan baju orangtua saya... biar saat di sana kami bisa ngomong "kami keluarga...." ngga bingung pakai pakaian apa karena sudah kelihatan baju kami ya itu-itu saja. Cukup bisa mengurangi beban pikiran dan lebih sat set. Oiya, ternyata membawa deterjen bubuk bukanlah sesuatu yang merugikan. 

Lalu, akhirnya H-2 sebelum keberangkatan... para guru diwakili kepala sekolah memberikan saya 'bekal', waha..surprise sekali. Saya kan hanya minta ijin tidak mengajar... tapi saya 'disangoni'.😭Begitulah hingga akhirnya saya benar-benar merasa..."wah perjalanan saya ini bukan sekadar 'perjalanan plus one' tapi beneran perjalanan yang istimewa sekali, rasanya begitu direstui, didoakan, dan tentu saja dititipi harapan serta doa oleh guru-guru di sekolah."

Sampai di tujuan

Sampai di bandara Juanda Terminal 2 (bandara yang dekat Lanudal), Bu Luluk 'resmi' melepas kami bertiga dan mengenalkan kami pada Bu Santi dan rombongan. Setelah mendapat ID Card, e-ticket cetak dll, saya mengamati ternyata rombongan ini usianya bervariasi. Yang sangat sepuh mendekati usia nenek saya ada. Yang seusia tante saya banyak. Yang berusia 1-2 tahun di atas saya ada, yang lebih muda dari saya juga ada beberapa ... dan ada Adik Bima yang usianya baru 12 tahun! Bahkan sampai di Madinah dan Makkah saya hanya merasa "Wah Wah Wah" saja saat bertemu para bayi sudah sampai sana. Bayi elit!😁

Kalau ditanya, apakah selama perjalanan orangtua dan saya baik-baik saja? Alhamdulillah baik-baik saja. Saya bersyukur tidak terlalu drama saat di sana, mungkin sesekali tersesat sampai ditunggu rombongan saat ke Raudah lewat jalur antrian. Secara kesehatan, kedua orangtua saya dalam kondisi yang sangat baik karena mereka bahagia sekali, walaupun saya batuk ... ngiklik ngga elit karena kurang bersahabat dengan AC (pesawat dan bus ber-AC bisa membuat saya ngga mbois sama sekali... )πŸ˜…. Namun saya lagi-lagi bersyukur bisa berada di Arab Saudi saat suhunya tinggi, ketika fisik saya tidak baik-baik saja terhadap udara dingin.

Sekitar 11 jam penerbangan dari Juanda ke Jeddah, turun dari pesawat benar-benar terasa perbedaan iklimnya. Di Indonesia biasa kepanasan dan berkeringat secara bersamaan, tapi tidak di Jeddah. Rasanya panas dan kering, tidak tau kemana perginya para keringat. Sepertinya ada hubungannya dengan bahasan perihal kelembaban udara (silakan googling ya πŸ˜€). 

Saat duduk-duduk menunggu koper di bandara ini, kami ditawari kartu perdana gratis dengan menunjukkan ID Card untuk dilihat nomor e-visanya. Oh Tidak!! Ibuku hampir saja ditarik itu ID Card-nya, untung saya noleh dan ngagetin si mas-nya, "No!" dan dia pun senyum mundur menjauh. Sayapun kaget bisa ngagetin orang dan kemudian sadar, "Oh ya, kan saya ngga bisa bahasa arab... untung hanya ngomong 'no' saja dan siapa saja pasti ngerti... bayangkan kalau perlu ngomong satu paragraf... bakal gimana ini". Nyatanya... suatu ketika saya juga menemui kondisi itu juga saat duduk di bawah payung bagian luar masjid Nabawi dan ketemu mbak-mbak warga lokal yang sudah panjang lebar cerita sambil rebahan... kemudian dia frustasi saat saya ngga bisa ngerespon dalam bahasa arab dan saya lupa respon saya apa... hingga dia bilang, "no english, arabic is easy" Duar! Maap ya mbak.. saya ngga bisa jadi teman ngobrolπŸ˜†

Masih di Jeddah, setelah beres dengan koper-koper jamaah, posting foto bertiga di story wa demi mengabari para keluarga dan rekan guru kalau saya sekeluarga sampai dengan selamat ... kami serombongan menuju bus yang akan mengantar rombongan menuju Madinah. Nah di situlah kami bertemu dengan sosok yang disebut Muthawif atau pendamping umroh. Di luar dugaan saya, sosok ini masih muda dan berbeda dengan pendamping yang dulu mengajar manasik haji orangtua saya. Tak pelak, hari-hari selanjutnya... para jama'ah yang sebagian besar baru menyadari keberadaannya ini sering menggoda dan menawarkan putri-putrinya. Kenapa? karena ia memang punya potensi "spek akhirat". Ada dua muthawif sebenarnya, muthawif yang kedua ini datangnya beberapa hari kemudian... dan tidak lepas dari guyonan rombongan juga tentunya. Aduh bapak ibu sekalian... mari kita bergandengan tangan untuk sadar diri ya... Bisa jadi mereka ini sudah ada yang punya..πŸ˜‚ 

Oke, mari kembali ke perjalanan...

pemandangan sekitar bandara Jeddah yang terpotret dari atas bus

Setelah dari Bandara Jeddah... kami serombongan plus seorang Muthawif berkendara dengan bus menuju Madinah. Oiya, bus di Arab ini posisi setir driver-nya sebelah kiri ya, dan pintu masuk penumpang ada di sebelah kanan. Yang artinya jalur mengemudi kendaraan di jalan raya ada di sebelah kanan juga. Kemudian hal yang menarik adalah saat saya melihat mobil-mobil melintas, saya mudah melihat siapa yang ada di dalam mobil-mobil itu seolah-olah mobilnya tidak dipasang kaca film. Terang, seperti melihat akuarium.

Sepanjang perjalanan... suasana kering dan gersang sangat terasa. Melihat kondisi seperti itu saja, saya sudah mudah membayangkan banyak hal. Semisal... walau ngga terlihat tali jemuran dan pakaian yang tersampir di area terbuka, saya yakin menjemur pakaian basah tidak memerlukan waktu lama di hamparan tanah seluas itu. Lalu... tidak adanya penjual sari tebu di pinggir jalanan agaknya membuka peluang berdagang dengan resiko digusur tentunya haha... Tak ketinggalan juga ada rasa takjub luar biasa di tengah area seperti ini hiduplah manusia-manusia yang mudah berkali-kali ke Baitullah, manusia-manusia yang berhasil hidup padahal padi saja ngga hidup oiya jangan lupakan kurma dan impor apa saja yang bisa pemerintah negara ini lakukan. Pokoknya banyak hal receh terbersit bercampur rasa ngga percaya saya bisa sampai ke negara ini, pusat peribadatan umat Islam sedunia.

Selanjutnya kalau ditanya 'gimana di sana? Apakah senang?' 

Kalau saya ya senang-senang saja. Bangun-makan-ibadah-tidur- terus berputar seperti itu. Ngga ada yang namanya masak dulu, ngoreksi tugas, apalagi bacain isi grup sekolah yang bejibun itu. Cukup tekan tandai-sudah dibaca... maklum saya kan sedang cuti πŸ˜€. 

Kota suci pertama yang kami datangi adalah Madinah. Pagi (sekitar pukul setengah 4), suasananya ngga ada ngeri-ngerinya. Rame! Orang-orang berbondong-bondong ke Masjid padahal belum shubuh. Sejak hari pertama berjalan menuju masjid Nabawi, saya merasa belum pernah melihat orang-orang beribadah dengan motivasi setinggi ini dalam jumlah besar.  

Shubuh pertama dan salah satu dari kakak-kakak ini membawakan kami zam-zam dingin

Kalau di Masjidil Haram? Wuih, lebih banyak lagi jama'ahnya. Lebih luas area masjidnya, lebih cepat juga orang mengincar posisi-posisi tertentu agar tidak perlu naik ke lantai yang lebih tinggi, dan tentu saja perlu tenaga ekstra untuk bisa bertahan dalam masjid ituπŸ˜†.

Kalau kalian punya jiwa kepo ingin menelusuri setiap pojokan masjid sebaiknya perlu berhati-hati mengatur tenaga. Kegiatan menelusuri masjid ini sebenarnya hanya di angan-angan saya saja. Karena kenyataannya, area-area tertentu sudah diberi pembatas pita/tali penanda untuk tidak dilewati terkait pengaturan jamaah dan perlu jalan memutar sehingga saya tidak bisa memprediksi nanti bisa keluar di pintu nomor berapa.  

Toilet di sekitar Masjidil Haram juga lebih jauh dibanding jarak Masjid Nabawi ke toilet. Lalu area-area 'terbuka' yang bercampur antara laki-laki dan perempuan saat keluar masjid menuju toilet juga membuat rasa "kurang nyaman" bila dibanding keluar masjid Nabawi sisi pintu area perempuan yang dekat dengan toilet perempuan.  

Selanjutnya, sering orang bertanya kepada saya berapa lama umrohnya?

Paket perjalanan yang saya ikuti adalah 16 hari. Sebelum saya berangkat, saya mengira ...'saya akan umroh 16 hari' ternyata bukan begitu. Berangkat di hari ke-1, dan sampai Indonesia lagi hari ke-16. Sebanyak 16 hari adalah total perjalanannya, belum lagi 'rasa-rasa perbedaan waktu' akan berpengaruh terhadap perhitungan 'sebenarnya berapa lama saya berada di Arab Saudi?' Rinciannya adalah berada di Madinah sejak hari pertama sampai hari ke-9 (Ahad, kalau tidak salah) karena katanya program saya ini program arbain maka dipersiapkan oleh pihak travel sedemikian sehingga jamaah bisa sholat berjamaah di masjid Nabawi selama 40 waktu sholat. Oiya, ada 1 waktu rombongan akan dibedakan menjadi jamaah laki-laki dan perempuan untuk mengunjungi Raudah. Kedua rombongan punya waktu berbeda untuk mengunjungi Raudah, kecuali kalau beruntung dan kebetulan melihat pintu akses menuju Raudah terbuka dalam suasana lenggang tanpa antrian. Selain rutin mengunjungi masjid nabawi, pihak travel juga mengajak rombongan ke masjid quba, percetakan Al Qur'an, bukit uhud, dan sumur Ghars.

Kemudian ahad siang seusai sholat dhuhur, kami serombongan berangkat menuju Makkah naik bus mengenakan dress code yang sudah ditentukan yaitu pakaian ihram. Kami mengambil miqat di Masjid Bir Ali, sholat tahiyatul masjid di sana, foto-foto, naik lagi dan niat umroh, lalu meluncur menuju Makkah sampai tertidur pulas. Setelah sekian jam... kira-kira jam 8 (?) malam kami sampai di hotel untuk makan malam dan bersiap-siap berangkat ke masjidil haram. Sebelum berangkat, kami berkumpul dahulu untuk persiapan umroh, sekitar jam 10-11 malam. Lalu kami semua bersama-sama menuju masjidil haram untuk umroh dengan melaksanakan sholat maghrib-isya terlebih dahulu. 

Saat memandang ka'bah pernah muncul pertanyaan, "Apakah jauh-jauh kemari hanya sekadar memohon kebutuhan duniawi?"

Ternyata umroh tidak memakan waktu berhari-hari, hanya beberapa jam. Waktu itu saya tidak mengamati waktu karena fokus menghitung berapa putaran tawaf, sudah berapa kali perjalanan sa'i, memperkirakan sampai sejauh mana rombongan yang dipimpin muthawif berjalan... karena kami bertiga kadang tidak bergerak secepat rombongan, lalu kalau sedang memungkinkan... kami bisa jalan menyusul mereka yang sudah berada di depan. Hingga akhirnya tahalul, dan seusai itu...saya baru bisa memperkirakan waktu. Kira-kira pukul 3 pagi setara pukul 7 di Indonesia... saat saya mencoba menghubungi rekan saya yang duduk di sebelah saya di ruang guru. Btw, dia sudah menjadi ibu beberapa hari yang lalu. Alhamdulillah satu doa saya sudah terkabul 😁.

Beberapa hari di Makkah dimanfaatkan untuk berkunjung ke beberapa tempat seperti ditunjukkan lokasi-lokasi saat menunaikan ibadah haji seperti tempat melempar jumrah, terowongan mina, tempat wukuf di arafah yang sudah dilengkapi tenda-tenda modern, jabal rahmah, lalu ada juga masjid tan'im, dan juga kota Ta'if. 

Sepulang perjalanan

Alhamdulillah kami serombongan sampai di bandara Juanda terminal 2 lagi dengan selamat. Banyak kerabat dan rekan guru datang berkunjung ke rumah. Kalau ada yang bertanya, apa kenangan paling berkesan selama di tanah suci? saya menjawab tentang kemudahan terkabulnya kata-kata (tertentu). 

Sebenarnya, sejak berangkat ... saya sudah menyadari harus hemat energi karena memang sedang kurang sehat. Efeknya ... saya tidak terlalu termotivasi untuk berbicara banyak. Bahkan saat naik bus dan muthawif sudah mengingatkan agar berhati-hati atas apa yang diucapkan, saya merasa tidak bermasalah karena tidak punya ide akan menyakiti orang lain. Namun saya salah duga, ternyata saya bisa menyakiti diri saya sendiri.

Suatu ketika masih di Madinah, beberapa ibu-ibu rombongan mengajak jama'ah perempuan untuk melakukan sesuatu. Ketika satu diantara mereka bertanya kepada saya, saya menjawab, "Tidak bu, saya takut tidak kuat." Seingat saya begitu jawaban saya. Efeknya, sore hari badan saya beneran terasa pegel-pegel atau sakit semua padahal saya akan berangkat ke masjid. Agak lama saya baru teringat kenapa saya merasa seperti itu, 'apakah jangan-jangan karena kata-kata saya?' langsung saya mohon ampun dan mohon disehatkan kembali. Hasilnya? Alhamdulillah Sehat. Sejak saat itu saya harus lebih berhati-hati saat berbicara, terlebih saat berbeda pendapat atau menolak. Cukup mengatakan: 'tidak'.

Pengalaman lain terjadi ketika ibu saya dan saya berangkat agak terlambat ke masjid nabawi untuk sholat ashar. Teringat bahwa di waktu yang sama pada hari sebelumnya... keadaan itu membuat kami berada di luar masjid dalam kondisi yang kurang nyaman. Teringat akan "efek berkata-kata" sebelumnya, saya mencoba berkata-kata (berdoa) untuk memohon kepada Allah agar mendapat tempat dimanapun nantinya ... dapat tempat yang cukup nyaman tidak terlalu panas dan berkarpet. Hasilnya, dapat area di luar masjid dan berkarpet. Kejadian seperti ini terjadi berulang ulang dengan harapan yang berbeda-beda, seperti ... saat memohon bisa tahajud dalam masjid dengan area yang nyaman tidak terlalu dingin dsb, ingin dekat dengan jamaah yang 'kalem' aja ngga perlu adu fisik karena kalah sikut-sikutan atau desek-an. Tentu saja saya merasa sangat terharu saat menyadari permohonan-permohonan sepele saya terkabul, tidak tahu lagi atas doa-doa titipan dari orang-orang yang menitip doa kepada saya.

Sebelum berangkat ke Makkah, saat sholat shubuh, saat bagian imam membacakan surat setelah al fatihah... saya tidak tau surat apa itu... saya menangis (semoga ibu saya tidak menyadari saya nangis saat sholat, atau beliau menyadari tapi diam saja?).. menyadari itu shalat berjamaah terakhir saya di masjid nabawi dalam perjalanan ini. Tempat yang saya sendiri tidak tahu apakah saya bakal kembali lagi atau tidak... walau saat saya mengetik ini... saya sudah berniat dan mulai berusaha untuk bisa kembali lagi. Masjid Nabawi dan sekitarnya mampu menjadi tempat dimana saya seperti dimanjakan... seperti mendapatkan kemudahan-kemudahan dengan cepat walau mungkin hal-hal yang saya sebutkan merupakan hal remeh bagi orang lain. Tempat yang menyadarkan saya bahwa kata-kata baik bisa sangat berarti bagi saya sendiri. Tempat yang membuat saya mencoba untuk terus berdoa dimanapun berada, salah satunya saya terapkan di lobi hotel area Makkah saat akan berangkat menunaikan ibadah umroh. Mungkin karena area Baitullah jadinya masih terasa makbulnya.

Saat akan memulai umroh saya sadari sudah melewati "jam istirahat tubuh". Yang artinya, saya sendiri ngga yakin seberapa kuat lagi badan saya bisa berdiri. Sejenak saya berdoa tanpa mencari dimana kiblat berada tapi saya sungguh-sungguh ... sudah pasrah memohon kekuatan agar tubuh saya mudah menjalankan ibadah umroh sampai selesai. Hasilnya, sungguh di luar dugaan. Saya masih bisa berkeliling (karena tersesat) bersama beberapa jamaah lain seusai shubuh-an di masjidil haram ... beberapa saat setelah umroh. Allahuakbar! Sungguh, kalau bukan karena Allah, dari berangkat-pelaksanaan-sampai pulang masih diberi kesempatan menulis ini, kalau bukan Allah yang memberi kemampuan dan kekuatan, siapa lagi?

Akhir cerita perjalanan ini sungguh mengesankan. Saya tidak merencanakan perjalanan ini sejak awal tahun, tiba-tiba Allah mudahkan adanya rejeki lewat kedua orangtua saya. Saya tidak memiliki keyakinan seberapa kuat fisik saya, Allah mudahkan peringatan untuk terus berdoa lewat menurunnya kesehatan saya sebelum berangkat dan sampai pulang ke rumah (ya, saya terpaksa menambah ijin tidak masuk karena suara saya habis dan batuk parah, sampai rekan-rekan guru curiga paru-paru saya bermasalah πŸ˜…). Mungkin itulah makna "panggilan menjadi tamu Allah" tapi saya tidak mau merasa teristimewa lebih-lebih saat seseorang pernah berujar begini sebelum saya berangkat, "Mbak, aku ngga pernah iri sama jabatan atau apapun pencapaian orang-orang di sini, tapi aku iri karo sampean sing iso budhal mrono." Saya hanya mampu menjawab, "Semoga Mbak sekeluarga segera ke sana juga." Yang kemudian dijawab, "Wis daftar haji se mbak, tapi sik suwe." Sampai situ, saya tidak bisa berkata-kata lagi.

Teman seperjalanan

Sebagai penutup tulisan ini, saya sadar tidak punya pesan khusus untuk pembaca tentang ibadah umroh dan haji. Kesan-kesan saya selama di sana menyenangkan... dan tentu saja merasa 'lebih baik' dari rekan-rekan yang belum pernah ke sana bukanlah salah satu cita-cita dalam hidup saya. 

Nite.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kesan dan pesan nya. Jangan kapok dan sungkan untuk berkunjung kembali :)