03/03/2012

Yang tersampaikan

Setiap kata-kata yang terucap, kalimat-kalimat dalam sms yang terkirim, atau bahkan deretan-deretan orasi atau persuasi pada poster mungkin tidak akan bertahan lama dalam sebuah ingatan seseorang jika tidak memiliki kesan tertentu. Bahkan, mungkin kata-kata itu akan terlupakan begitu saja oleh si penulis, bak kapur barus yang menyublim pada suatu ruangan dengan suhu tertentu. Berubah wujud dan menghasilkan aroma yang hanya dapat disadari oleh orang-orang yang menyadari "keberadaan" aroma tersebut.

Berkaitan dengan paparan di atas, meskipun saya mengakui bahwa saya ini bukan pujangga tapi entah kenapa kadangkala saya "terperangah" membaca deretan kata yang saya tulis pada suatu waktu tertentu. Bukannya saya narsis, tapi suatu tulisan jika dibaca dalam kondisi yang berbeda, akan berbeda pula tanggapannya.   Paling tidak, saya bisa berkomentar "wah pernah nulis kaya gitu ya dulu, pasti saat itu saya benar-benar sedang 'normal'." Yah, kata-kata yang seringkali tertulis dalam blog tak ubahnya wujud lain dari apa-apa yang membanjiri kepala, apa-apa yang terlihat oleh mata dan tak biasa digubris oleh orang karena bersifat relatif dan reflektif, atau bahkan sekedar pengecekan bahwa apa yang dipikirkan selama ini sebenarnya kesalahan yang terlalu lama ditimbun: gengsi untuk mengakui sesuatu. Lalu, seperti kabur barus, antara hasil renungan yang begitu mendalam atau hanya bercanda, kata-kata yang pernah saya ucapkan atau saya tulis, sangat bisa berpengaruh terhadap seseorang atau lebih, sedangkan beberapa waktu kemudian saya lupa apa yang saya tulis dan katakan. Sampai seorang sahabat saya, dengan sengaja mendownload tulisan dari blog saya yang lain, mencetaknya, dan menunjukkannya kepada saya. Kemudian, pernah juga ketika berbincang dengan kerabat saya, dia menyatakan sesuatu yang pernah saya katakan padanya, padahal itu kata-kata yang terucap sambil lalu saja. Wow... menarik, sekaligus menyeramkan.

Hal lain yang tak kalah penting, saya teringat akan teori kebutuhan Maslow. Satu bagian dari beberapa level yang dipaparkan tokoh ini, bagian yang begitu menarik saya untuk menemukan satu kunci berinteraksi dengan orang lain: setiap manusia itu ingin dihargai, paling tidak ia ingin diakui keberadaanya dengan sifat-sifat positif atau mampu menguasai suatu bidang. Itulah yang mendasari mengapa seseorang itu suka dipuji, baik pria atau wanita. Sesuatu sikap yang bisa menerbangkan seseorang ke awang-awang bahkan bisa juga menghempaskannya beberapa waktu kemudian jika tidak berhati-hati menyikapinya; sebuah pujian.

Akan tetapi, seperti halnya roda kehidupan, kadang kala di atas seringkali di bawah, kondisi manusia selalu berputar. Siapa saja, tanpa persiapan pun, akan senang dan bahagia berada di atas. Memenangkan pertandingan, menjadi predikat penyandang yang ter- .... (terpandai; termasuk juga ter-alim = berilmu, tercantik, tergaul, terpopuler, terkaya, dan segala ter- lain yang mungkin menjadikan penyandangnya begitu gigih untuk menggenggam predikat-predikat itu). Yah, teori yang sempat dipelajari entah di semester berapa waktu berkuliah dulu ternyata baru dipahami ketika berdebat dengan seorang teman SD saya beberapa tahun lalu di FB. Waktu itu dia memasang status yang intinya agak capek membaca status-status yang cenderung “absen” atas apa yang menimpa dirinya. Ia berujar, semua doa-doa yang tertulis terkesan sebagai pencitraan semata. Hehe.. padahal ga semua orang begitu karena beberapa memang benar orang-orang yang mempublish seperti itu benar-benar orang baik. Paling tidak, kita bisa tahu seseorang itu dari kesehariannya, apa yang dilakukan dan diucapkan mirip-mirip lah dengan status-statusnya. Memang tidak jarang, banyak juga, status-status FB seseorang mempunyai nilai “lebih” dari kesehariannya: lebih baik atau lebih buruk (lho??). Yah, ujung-ujungnya tiap orang itu tanpa sadar menunjukkan bahwa dia perlu pengakuan. Sebuah usaha "berlebihan" mungkin akan dilakukan beberapa orang hanya untuk menarik perhatian segolongan orang-orang di sekitarnya. Sesuatu yang dianggap lumrah dilakukan karena tidak jarang masyarakat atau saya sendiri masih sering sombong dan tidak mau ramah dalam menghargai seseorang. Padahal sama-sama manusia tetapi masih suka memandang dengan sebelah mata. Itulah sedikit gambaran keinginan seseorang melalui penghargaan, sebuah status baik di dunia maya atau pun nyata. Di dunia maya, membual lewat social networking site tertentu, di dunia nyata bisa pamer-pamer melalui kepemilikan tertentu :D

Kemudian, kembali lagi ke kapur barus dan roda kehidupan. Ketika roda kehidupan seseorang berada di bawah, tidak jarang seseorang menjadi down dan merasa tertekan. Ia akan merasa tidak mempunyai apa-apa sampai orang lain menunjukkan kepada dirinya nasihat-nasihat apa yang telah mereka terima dan memberikan kembali kepadanya. Itulah mengapa, menurut saya, apapun yang kita ucapkan atau kita tuliskan itu sebenarnya sangat menarik sekaligus mengerikan. Mereka yang terucap dan tertulis akan kembali kepada empunya. 

Masih membicarakan roda kehidupan yang berada di bawah, menarik diri dari rutinitas bisa menjadi salah satu indikasi seseorang sedang down. Memang menyenangkan menarik diri sejenak dalam waktu tertentu, saya akui itu. Namun biasanya, kegiatan menarik diri ini tidak ada waktu yang fix. Bisa tiga hari, bisa seminggu, bahkan berbulan-bulan. Biasanya, seseorang yang masih "normal" akan menasihati kurang lebih seperti ini "lihatlah sekeliling, masih ada yang lain dan tidak lebih baik darimu" dan itu cukup mengingatkan bahwa 'ada sesuatu yang tidak normal' terjadi ketika seseorang menarik diri, minimal untuk saya sendiri. Biasanya, ketika menarik diri, banyak pertanyaan muncul sekaligus dan ramai dalam kepala. Tidak jarang mengetikkan mereka dalam ms.word untuk sekedar mengeluarkan mereka biar bisa bernafas lega. Seringkali juga, ujung-ujungnya, ini pasti ada hubungannya dengan ketidak sesuaian antara apa yang diinginkan dari sikap orang lain terhadap diri sendiri. Hal-hal yang masih belum bisa "diterima" oleh diri sendiri. Hal-hal yang ujung-ujungnya "kok gini sih", "kok ga sesuai dengan yang kuharapkan", "kok aku dibegitukan" dst dst dst. Sesuatu yang bermuara pada penuntutan "pengakuan diri" oleh orang lain. Hehe.. kompleks ya, di satu sisi "menuntut" pengakuan itu melelahkan tetapi bekerja dalam kehidupan sehari-hari pun memerlukan pembuktian diri yang juga berakhir pada sebuah pengakuan; pengakuan dari atasan dan rekan sejawat. Di sinilah kedudukan teori maslow agak perlu sedikit dicermati lebih. Teori ini terlalu melelahkan untuk dilakukan jika hanya mengharapkan pengakuan dari manusia saja. Jadi, segera naikkan saja "harapan untuk diakui" di atas keinginan diakui oleh manusia semata, sesuatu yang lebih dari itu.


Secara keseluruhan, ketika sebuah roda kehidupan terus berputar, menjadi tetap terkontrol dalam mengeluarkan apa-apa yang terucap dan tertulis tidak lah mudah. Berada di bagian roda manapun, siapa saja ingin tetap dihargai. Langsung atau tidak langsung, menghargai orang lain merupakan upaya untuk menghargai diri sendiri. Paling tidak, itu adalah suatu upaya untuk mengontrol apa yang terucap dan apa yang tertulis. Sesuatu yang bisa membantumu atau bahkan melukaimu di suatu hari nanti.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kesan dan pesan nya. Jangan kapok dan sungkan untuk berkunjung kembali :)