Resume khutbah
Diawali dengan mengingatkan bahwa
ada 4 bulan baik dalam Islam meliputi muharam, sya’ban, dzulqodah, dan
dzulhijjah. Dengan tidak membedakan satu dengan yang lain umat Islam hendaknya
juga memperlakukan bulan-bulan mulia tersebut dengan baik sehingga tidak ada
lagi yang menyatakan bahwa bulan syura’(sebutan bulan muharam oleh orang Jawa)
sebagai bulan sialsehingga tidak boleh juga melaksanakan ritual-ritual penolak
bala yang dikhawatirkan akan datang pada bulan ini. Sebuah tradisi yang perlu
dihilangkan.
Demikian juga bulan mulia yang
lain yaitu buan dzulhijjah ini. Beberapa amalan-amalan dianjurkan untuk
dilaksanakan dalam bulan ini. Diantaranya tetap bersedekah, melaksanakan
kurban, dan menunaikan ibadah haji. Satu hal menarik dari paparan pak khotib
adalah tentang pandangan ibadah haji di kalangan umat muslim sendiri. Telah
biasa kita dengar bahwa ibadah haji itu dilaksanakan jika seorang muslim mampu
melaksanakannya, mampu fisik maupun finansial. Di lapangan banyak ditemukan
bahwa orang muslim: bekerja->berpenghasilan->menabung->bisa beli
apasaja->lalu berangkat ibadah haji. Nah, ibadah haji ini seringkali
diletakkan pada prioritas ke-sekian setelah semuanya terpenuhi. Namun tidak
ingatkah, bahwa ibadah haji itu merupakan satu dari rukun Islam? Mengapa tidak
menjadi prioritas “lebih” daripada memiliki sesuatu yang senilai dengan biaya
dari ibadah tersebut? Bahkan kalau berhaji dengan jalan “nebeng” pun
diperbolehkan bukan? Maksudnya adalah upaya yang diadakan untuk
menyelenggarakan ibadah ini benar-benar ada dan nyata.
Lalu materi khutbah pun mengalir
ke masalah pelaksanaan ibadah kurban. Beliau berujar, pernahkah ketika kita menerima hewan kurban sambil merasa
malu di dalam dada? Bertanya kepada diri sendiri ‘saya menerima daging kurban
kawan muslim lain yang sedang berkurban? Saya ga mampu? Ga cukupkah rizki yang
saya terima sampai menerima jatah daging kurban? Apa sudah ga ada lagi yang
lebih membutuhkan? Kapan saya berkurban?’. Kemudian dengan bahasa yang sangat
mudah dicerna beliau memaparkan lagi hal-hal umum yang mungkin membuat
pendengar semakin malu saja untuk mengakuinya. “Bapak Ibu lho beli sepeda motor
mampu, punya tabungan di bank, bisa beli apa saja, tapi masa beli kambing satu
saja ga bisa? Namun yang perlu diperhatikan adalah esensi yang ada itu bukanlah
pada pernyataan ‘saya bisa membeli ini itu bahkan kambing, tetapi lebih kepada saya
berkurban demi Allah. Niat dan perbuatan yang ditujukan terhadap Allah itu lah
yang perlu, karena untuk mengingatkan kita bahwa Allah lah prioritas dalam
hidup ini, bukan yang lain.”
Sebelum mengakhiri khutbah Ied
ini, pak khotib kembali berujar, “ada juga orang-orang yang cukup secara
finansial dan bugar fisik menyatakan bahwa dirinya belum dipanggil oleh Allah
untuk berhaji. Padahal, haji adalah
panggilan Allah kepada hamba-Nya dalam QS. Al-Hajj ayat 27. Tinggal kita saja
apakah mau menjawab dan memenuhi panggilan itu atau tidak.
Sekedar refleksi
Setelah mendengar paparan di atas
seringkali saya kemudian berpikir tentang pandangan saya sendiri mengenai
ibadah haji. Dulu, terlebih sebelum mendapati bagian dari keluarga saya naik
haji secara langsung, saya memandang bahwa ibadah haji itu benar-benar suatu
kebutuhan tersier (kebutuhan setelah primer dan sekunder), termasuk juga
kebutuhan ‘barang mewah’ karena berkaitan dengan biaya yang sangat mahal
disertai bumbu cerita dari beberapa orang yang berujar ‘kita perlu lebih
menekankan perbuatan baik dengan sesama daripada menyegerakan ibadah haji.
Masih banyak orang miskin sekitar yang perlu dibantu dengan harta kita daripada
menggunakannya untuk berangkat ibadah haji’. Belum lagi beberapa hari yang lalu
seorang aktivis fesbuker berujar dalam statusnya kurang lebih demikian ‘semoga
mereka yang sedang melaksanakan ibadah haji masih ingat tentang berjihad’.
Kemudian pernah juga saya membayangkan untuk memperkirakan naik haji kalau saya
sudah menikah dan punya anak usia sekian dan sudah sangat mampu secara
finansial dan sebagainya suatu saat nanti. Tapi.... semakin saya berpikir
semakin tampak saja kejanggalannya. Ini lebih kepada bagaimana menata cita-cita
dan niat.
Satu yang cukup menyentil adalah
meskipun pak khotib itu bilang kebanyakan orang-orang akan men-sekian kan
ibadah haji, saya merasa saya juga bagian dari orang-orang itu. Berharap setelah
semua kebutuhan primer terpenuhi. Tapi sampai kapan? Apa batasan kebutuhan
primer? Sampai umur berapa? Kenapa tidak menjadikannya menjadi sebuah prioritas
juga sejak sekarang?
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kesan dan pesan nya. Jangan kapok dan sungkan untuk berkunjung kembali :)