29/10/2012

Sekelumit materi khutbah Ied yang tertangkap


Resume khutbah

Diawali dengan mengingatkan bahwa ada 4 bulan baik dalam Islam meliputi muharam, sya’ban, dzulqodah, dan dzulhijjah. Dengan tidak membedakan satu dengan yang lain umat Islam hendaknya juga memperlakukan bulan-bulan mulia tersebut dengan baik sehingga tidak ada lagi yang menyatakan bahwa bulan syura’(sebutan bulan muharam oleh orang Jawa) sebagai bulan sialsehingga tidak boleh juga melaksanakan ritual-ritual penolak bala yang dikhawatirkan akan datang pada bulan ini. Sebuah tradisi yang perlu dihilangkan.

Demikian juga bulan mulia yang lain yaitu buan dzulhijjah ini. Beberapa amalan-amalan dianjurkan untuk dilaksanakan dalam bulan ini. Diantaranya tetap bersedekah, melaksanakan kurban, dan menunaikan ibadah haji. Satu hal menarik dari paparan pak khotib adalah tentang pandangan ibadah haji di kalangan umat muslim sendiri. Telah biasa kita dengar bahwa ibadah haji itu dilaksanakan jika seorang muslim mampu melaksanakannya, mampu fisik maupun finansial. Di lapangan banyak ditemukan bahwa orang muslim: bekerja->berpenghasilan->menabung->bisa beli apasaja->lalu berangkat ibadah haji. Nah, ibadah haji ini seringkali diletakkan pada prioritas ke-sekian setelah semuanya terpenuhi. Namun tidak ingatkah, bahwa ibadah haji itu merupakan satu dari rukun Islam? Mengapa tidak menjadi prioritas “lebih” daripada memiliki sesuatu yang senilai dengan biaya dari ibadah tersebut? Bahkan kalau berhaji dengan jalan “nebeng” pun diperbolehkan bukan? Maksudnya adalah upaya yang diadakan untuk menyelenggarakan ibadah ini benar-benar ada dan nyata.

Lalu materi khutbah pun mengalir ke masalah pelaksanaan ibadah kurban. Beliau berujar, pernahkah  ketika kita menerima hewan kurban sambil merasa malu di dalam dada? Bertanya kepada diri sendiri ‘saya menerima daging kurban kawan muslim lain yang sedang berkurban? Saya ga mampu? Ga cukupkah rizki yang saya terima sampai menerima jatah daging kurban? Apa sudah ga ada lagi yang lebih membutuhkan? Kapan saya berkurban?’. Kemudian dengan bahasa yang sangat mudah dicerna beliau memaparkan lagi hal-hal umum yang mungkin membuat pendengar semakin malu saja untuk mengakuinya. “Bapak Ibu lho beli sepeda motor mampu, punya tabungan di bank, bisa beli apa saja, tapi masa beli kambing satu saja ga bisa? Namun yang perlu diperhatikan adalah esensi yang ada itu bukanlah pada pernyataan ‘saya bisa membeli ini itu bahkan kambing, tetapi lebih kepada saya berkurban demi Allah. Niat dan perbuatan yang ditujukan terhadap Allah itu lah yang perlu, karena untuk mengingatkan kita bahwa Allah lah prioritas dalam hidup ini, bukan yang lain.”

Sebelum mengakhiri khutbah Ied ini, pak khotib kembali berujar, “ada juga orang-orang yang cukup secara finansial dan bugar fisik menyatakan bahwa dirinya belum dipanggil oleh Allah untuk berhaji.  Padahal, haji adalah panggilan Allah kepada hamba-Nya dalam QS. Al-Hajj ayat 27. Tinggal kita saja apakah mau menjawab dan memenuhi panggilan itu atau tidak.

Sekedar refleksi

Setelah mendengar paparan di atas seringkali saya kemudian berpikir tentang pandangan saya sendiri mengenai ibadah haji. Dulu, terlebih sebelum mendapati bagian dari keluarga saya naik haji secara langsung, saya memandang bahwa ibadah haji itu benar-benar suatu kebutuhan tersier (kebutuhan setelah primer dan sekunder), termasuk juga kebutuhan ‘barang mewah’ karena berkaitan dengan biaya yang sangat mahal disertai bumbu cerita dari beberapa orang yang berujar ‘kita perlu lebih menekankan perbuatan baik dengan sesama daripada menyegerakan ibadah haji. Masih banyak orang miskin sekitar yang perlu dibantu dengan harta kita daripada menggunakannya untuk berangkat ibadah haji’. Belum lagi beberapa hari yang lalu seorang aktivis fesbuker berujar dalam statusnya kurang lebih demikian ‘semoga mereka yang sedang melaksanakan ibadah haji masih ingat tentang berjihad’. Kemudian pernah juga saya membayangkan untuk memperkirakan naik haji kalau saya sudah menikah dan punya anak usia sekian dan sudah sangat mampu secara finansial dan sebagainya suatu saat nanti. Tapi.... semakin saya berpikir semakin tampak saja kejanggalannya. Ini lebih kepada bagaimana menata cita-cita dan niat.

Satu yang cukup menyentil adalah meskipun pak khotib itu bilang kebanyakan orang-orang akan men-sekian kan ibadah haji, saya merasa saya juga bagian dari orang-orang itu. Berharap setelah semua kebutuhan primer terpenuhi. Tapi sampai kapan? Apa batasan kebutuhan primer? Sampai umur berapa? Kenapa tidak menjadikannya menjadi sebuah prioritas juga sejak sekarang?

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kesan dan pesan nya. Jangan kapok dan sungkan untuk berkunjung kembali :)