Beberapa tahun yang lalu, ketika saya beserta
teman-teman saya berkerumun di jajaran bangku taman di bawah pohon rindang. Di
tengah pembicaraan ala kami (pembicaraan geje tak berujung hehe..), datanglah seseorang
membagikan amplop berlabel sebuah lembaga anak yatim beberapa lembar. Mirip
seperti yang dilakukan orang-orang yang mengaku dari yayasan tertentu di atas
bus antar kota. Beberapa saat kemudian, para amplop telah berada di genggaman
pemuda tersebut kembali. Setelah merapal ucapan terima kasih dan doa pada kami,
ia meninggalkan kami menuju kerumunan yang lain. Setelah tak terlihat lagi,
kami pun membicarakan perihal tersebut.
Dari pembahasan yang ada, satu
hal yang saya ingat dari celetukan seorang teman saya sampai saat ini. “niatkan
pemberian itu untuk memberi si penerima karena Allah, bukan untuk yayasan
tersebut. Selanjutnya, itu urusan dia dengan Allah.” Kurang lebih demikian lah
yang ia ucapkan demi menghalau wajah-wajah tegang di sekitarnya, mendorong
tetap beramal tanpa mempertimbangkan apa yang akan dilakukan penerima selanjutnya.
Mungkin itu terlihat sepele. Namun bagi saya, ingatan mengenai hal itu seperti
semilir angin di tengah kebimbangan saya ketika ingin membagi sedikit rezeki ketika
sebuah tangan menengadah. Ketika serbuan berita dan kisah nyata tentang
segolongan orang menjadikan kegiatan ‘mengemis’ sebagai sebuah profesi yang
menjanjikan penghasilan besar.
Kegiatan meminta-minta yang
berubah menjadi profesi mungkin sangat mengesalkan bagi banyak orang. Di saat
usaha dan peluh dihargai dengan sejumlah imbalan saat ini, sudah pasti timbul keengganan
untuk sekedar berbagi pada mereka yang hanya menengadahkan tangan. Sudah sangat
sulit membedakan orang-orang yang sangat terhimpit keadaan dengan orang-orang
yang menjadikan kegiatan demikian sebagai profesi. Namun berlaku tebang pilih
kepada sebenar-benarnya orang yang membutuhkan tidak bisa begitu saja
dilakukan. Bisa jadi orang yang menengadahkan tangan adalah pengemis pekerja, orang
yang terdesak, atau bisa jadi itu adalah bentuk malaikat yang menyamar. Bagaimana
membedakannya? Jangan bertanya. Saya pun tidak tahu bagaimana membedakannya.
Sebagian orang memilih bersifat “aman”
dengan membantu secara langsung masyarakat yang tidak mampu tetapi memiliki
usaha dalam kesehariannya. Sebagian yang lain memilih mendatangi lembaga
terpercaya untuk menyalurkan sedekahnya. Sisanya, seperti halnya orang-orang
yang berprinsip seperti teman saya di atas, tetap memberikan sedekah kepada
mereka yang menengadahkan tangan. Apa pun itu, semoga kita tetap bisa terus
berbagi kepada siapa saja sesuai kemampuan yang ada, berapapun nominalnya,
apapun wujudnya, dan bagaimana pun caranya. Bagaimanapun juga, kebaikan sebesar biji sawi pun tetap ada balasannya bukan?
Ingat sama bulik-e devita sing biasane nepuk2 pundak trus ndoakan kita jadi pns ga? wkwkwkwk....
ReplyDeletewkwkwk,, eling lah....
ReplyDelete