Mulai dari anak-anak sampai dewasa, kata ini sangat familiar
di telinga kita. Bahkan, dunia permainan pun sangat dekat dengan anak-anak. Entah
itu permainan yang bertujuan untuk melibatkan anak beraktivitas fisik atau pun
mental. Seiring pertambahan usia, permainan pun memiliki makna sebagai kegiatan
hiburan atau mengisi waktu luang. Hingga akhirnya, seluruh hidup manusia sangat
dekat dengan yang namanya permainan.
Beberapa waktu lalu, di salah satu stasiun televisi menayangkan
acara yang melibatkan peserta anak-anak menghafalkan ayat Al-quran. Sebagai seorang
yang mengaku beragama Islam, saya merasa malu saat itu. Ketika teman-teman
berkomentar ingin memiliki anak-anak seperti di acara tersebut, saya bertamba
malu lagi. Dalam hati saya berujar, “Wah luar biasa sekali teman-teman ini,
mereka sudah berharap demikian. Mungkin saja, mereka memang sudah terbiasa juga
menjadi penghafal sehingga sudah siap untuk “menularkan” kegiatan yang satu itu
untuk bakal keturunannya. Sedangkan saya?”
Tiba-tiba saya membayangkan bagaimana para orang tua itu
mendidik putra-putri mereka di usia dini. Kemungkinan besar, para orang tua itu
mendidik anak-anak nya hanya sedikit atau bahkan tanpa memperdengarkan sama
sekali lagu-lagu semacam “pok ami-ami belalang kupu-kupu”, tapi langsung tartil
Quran. Benar saja, pada suatu kesempatan, acara penghafal quran dari kalangan
anak-anak itu menayangkan wawancara yang menunjukan bahwa orang tua telah
membisikkan ayat-ayat quran pada saat bayi belum berusia satu tahun (maaf saya
lupa usia nya). Tentu saja komentar saya, “wow banget ya… .” sesuatu pertanyaan
yang kemudian menyusul selanjutnya? Permainan jenis apa yang tidak mengurangi
waktu menghafalnya? Atau, berapa jam orang tua tersebut “menjatah” waktu
bermain sang anak? Bukankah anak-anak erat sekali dengan dunia bermain dan
permainan? Yah, tiba-tiba saya teringat negara berkonflik yang menewaskan anak-anak
penghafal quran. Pasti hiburannya cuma menghafal dan membaca quran saja. Andaikan
ada mainan, jenis dan jumlahnya pun tak sebanyak di tempat kita…
Beralih pada permainan yang dibahas sebelumnya, saya jadi
banyak berpikir. Jangan-jangan, apa-apa yang saya lakukan selama ini masih “ga
penting”. Meskipun saya bukan pecandu game, saya lebih suka
melihat adik saya bermain game, rasa-rasanya waktu yang ada sebelumnya terlalu
banyak yang saya buat “main-main”. Entah itu saya “main-main” dengan cara sikap
sok tahu atas kebenaran langkah yang saya ambil dalam hidup, atau sikap tak
benar-benar yakin atas ketetapan pencipta saya, sikap yang akhir-akhir ini
sedang sangat perlu “dipermak”.
Banyak orang bilang hidup di dunia adalah permainan, namun sepertinya
sangat dangkal sekali kalau kita benar-benar hanya bermain-main (bersenang-senang
menuruti keinginan dalam hati) dalam hidup ini. Meskipun saya tidak bisa
sepenuhnya mengartikan ‘hidup di dunia ini adalah permainan’ itu apa, menurut
saya, kita bisa menemukan banyak kesenangan hati “berjangka” atas usaha yang
kita lakukan dalam dunia ini. Jika ingin menemukan kesenangan hati “berjangka
panjang”, maka sebaik-baik tujuan adalah kehidupan setelah hidup di dunia ini,
kehidupan sesudah mati. Jika tidak, setiap hari akan ada banyak “permainan”
yang melenakan kita dari hari pembalasan. Mungkin kita perlu kerja sesuai hati
entah santai entah berat, bebas pakai cara apa aja, bisa beli apa saja, menjadi
populer, dan apa saja yang dirasakan hanya berjangka saat hidup di sini saja. Namun
jika kita mengaku percaya bahwa kehidupan sesudah mati itu ada, kita tidak
boleh berleha-leha tanpa mempersiapkan bekal untuk “nanti”. Well, hidup di
dunia ini tidak mudah bukan? Ajaibnya, entah itu hidup senang atau susah,
dua-duanya adalah ujian. Akankah kita “menjauh” atau “mendekat” pada Sang
Penguji? Ini terserah kita bukan? J
jeru
ReplyDeletediurug ae :D
Delete