19/08/2013

Kartun, komik, dan perhatian


Well, dunia kartun biasa diidentikkan dengan anak-anak. Entah mengapa itu terjadi, apakah karena bentuknya yang sebagian besar unyu-unyu, atau bahkan karena permainan warna yang ditampilkan dalam tokoh-tokoh kartun. Tokoh kartun juga sangat terkenal dalam pernak-pernik anak-anak. Mulai dari hello kitty jaman behaula sampai angry bird yang nongkrong di sebagian besar ponsel saat ini. Hehehe,, jeli sekali sepupu saya yang masih kecil itu menemukan sebuah game angry bird dalam fitur ponsel bawaan punya saya (maaf OOT ya he3).

Terlepas dari mana suatu tokoh kartun berasal, entah itu dari 'negara barat' atau 'negara timur' (??), tokoh kartun tidak serta merta hanya menarik anak-anak. Remaja dan dewasa pun bisa saja kepincut tampilan kartun tertentu. Apalagi kalau sebuah toko kartun mewakili suatu cerita yang menarik, wah.. bisa dipastikan, sampai usia dewasa pun orang-orang tetep melihat tayangan kartun tersebut. Ibu-ibu yang gendong bayi pun sering membeli tas atau selimut bergambar kartun bukan? meskipun bayi-nya belum kenal tokoh kartun tertentu, saya yakin orang tuanya pasti tau atau sekedar memilihkan tema kartun untuk anaknya. Entah mengapa, stereotype kartun melekat kepada anak-anak begitu kuat hingga saat ini.


Kalau sebatas bentuk beberapa kartun yang unyu-unyu, oke juga sih kartun diidentikkan dengan anak-anak. Apalagi kalau sebuah gambar saja, tidak bercerita. Namun jika sudah terbentuk kumpulan cerita, perketat lah balita dan anak-anak melihat tayangan ini dengan cara mendampingi mereka. Salah satu contohnya, kartun tom and jerry. Dulu, saya lihat tom and jerry asik banget lho. Kejar mengejar dan segala alat berat berjatuhan, dipukul sana-sini cuma benjol dan recovery dengan begitu cepat. Wow, itu saja, pikir saya film adalah film, titik. Beberapa puluh tahun kemudian, ketika saya melihat salah satu sepupu saya. Wah, perilaku 'tom and jerry' bener-bener ga asik lagi. Bayangkan, sepupu saya (sepupu yang lain lagi, maklum sepupu saya kecil-kecil) yang sangat aktif itu pukul-pukul saya berkali-kali. Sambil tertawa-tawa dan terus saja mengulang-ulang perbuatan memukul pada orang-orang dewasa yang ditemuinya. Setelah ngobrol sama tante saya, ketemu lah penyebabnya yaitu seringnya sepupu saya meniru adegan dalam beberapa tokoh kartun yang dilihatnya, salah satunya 'tom and jerry'. Yah, sejak saat itu, mulailah orang-orang dewasa di sekitarnya menjadi 'orang cerewet' yang selalu mengingatkan untuk tidak memukul, menasihati bagaimana rasanya dipukul, kondisi di film dan kenyataan itu berbeda, dsb. 


Nah pengalaman di atas cukup mewakili sisi kartun yang menampilkan kekerasan "secara lucu". Belum lagi sisi-sisi lainnya, misalkan pornografi, atau sekedar bagaimana bergaul dengan lawan jenis. Bentuk kartun yang ditampilkan dalam komik lebih bervariasi lagi. Beberapa penerbit mencantumkan PG (parental guide) atau semacam rate usia yang diperkenankan untuk pembaca: Semua Umur (SU), Remaja (R), dan Dewasa (D). Yap.. dengan adanya rating usia ini sudah cukup membuktikan kepada kita untuk berhati-hati bahwa komik bukan hanya konsumsi anak-anak semata. Apalagi beberapa orang pernah berujar, "wah bacaannya komik, masih kekanak-kanak an". Sesuatu yang diartikan oleh sebagian orang bahwa bacaan tersebut merupakan identitas bacaan anak. Sebuah pendapat yang sangat rawan diucapkan untuk masa saat ini.

Mengapa sekedar bacaan atau tontonan bagi anak-anak dan remaja perlu perhatian keluarga? bagi pecinta komik dan film, pasti paham mengapa ini perlu sekali. Meskipun rate usia sudah tertera, budaya yang diusung tokoh dalam komik tidak selalu sesuai dengan budaya kita. Di samping membaca cerita yang dibawa, melihat gambar tokoh yang cakep, segala adegan dalam gambar begitu mudah terekam dalam benak seseorang, apalagi dalam usia muda. Peluk, cium, dan mungkin cara bergaul antar remaja lawan jenis yang sebenarnya kurang sopan dalam lingkungan kita cukup deras mengalir dalam komik remaja. Memang, tanpa membaca komik yang berasal dari luar negeri, sudah banyak sinetron dan film pun menyuguhkan hal yang kurang mengajarkan moral yang baik pada generasi muda. Namun, dikaitkan dengan asumsi bahwa dunia kartun dan komik adalah "wajar" bagi anak-anak, sudah sewajarnya perhatian kepada kedua hal tersebut perlu ditingkatkan.

Yah, pada akhirnya saya belum tahu mengapa kartun sangat identik dengan anak-anak. Bahkan seseorang yang sudah dewasa dan masih melihat kartun pun diolok "ih seperti anak kecil" sudah sering terjadi. Mungkin saja film kartun memiliki cerita yang begitu ringan dan mudah dicerna oleh anak kecil sekalipun. Toh selama tontonan itu tidak berisi hal negatif tidak masalah bukan? Selamat memilih dan memilah bacan/tontonan kartun untuk teman-teman dan saudaranya. Berapapun usia kita, mari membaca dan menonton sesuatu yang bermanfaat. Apapun yang "dicerna" indera kita, akan dimintai pertanggungjawabannya kelak.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kesan dan pesan nya. Jangan kapok dan sungkan untuk berkunjung kembali :)