Dahulu, awal ketika saya benar-benar memperhatikan kegiatan
orang-orang dalam pasar – karena sebelumnya saya hanya ingin membeli dan tidak peduli
pada proses yang ternyata banyak sekali berlangsung dalam pasar – begitu takjub
dengan kemampuan menghitung pedagang. Mungkin jika di dalam kelas bangku
sekolah dasar, kegiatan mencongak diadakan sebelum pulang ke rumah. Namun dapat
dipastikan, mayoritas pedagang pasar melakukan ini ketika menghitung
dagangannya setiap kali mereka berdagang. Tanpa menggunakan kalkulator,
beberapa pedagang memasukkan barang yang telah dibeli satu persatu ke dalam
kresek pembeli untuk mendapatkan total harga yang harus dibayar oleh pembeli. Kebanyakan
mereka mengucapkan harga dan menghitungnya dengan berbicara jelas. Hehe..
sebuah kegiatan yang menurut saya menyenangkan karena pedagang tersebut tanpa
sadar melakukan perhitungan “think out loud” dengan sendirinya dan tanpa sadar
pembeli pun ikut “mengecek” hitungan pedagang tersebut. Kesalahan hitungan pun
dapat diminimalisir karena ketika macet menghitung di tengah jalan, para
pembeli itu turut memberikan jawaban yang benar. Sebuah kegiatan hitung
menghitung yang tidak berada di dalam kelas dan sangat tidak terkesan saling
menggurui. Hanya berlandaskan ingin menemukan solusi J
Lalu, masih ada hal lain lagi yang menarik juga untuk
dicermati. Pedagang mempunyai kemampuan yang mahir perihal menghitung uang
(meskipun dapat diakui, anak-anak pun juga mahir menghitung uang hadiah saat
lebaran hehe…). Beberapa kemampuan yang biasa terlihat adalah menghitung uang
kembalian, menagih pembeli karena uang yang diberikan pembeli masih kurang,
atau bahkan berupaya mencari solusi ketika pedagang tidak memiliki sejumlah
uang kembalian untuk diberikan kepada pembeli. Hal terakhir yang saya sebutkan
mengenai kemampuan tersebut juga menarik untuk dibahas. Misalkan ada sebuah
contoh:
Pedagang: “totalnya Rp. 17.000,-“
Pembeli: menyerahkan selembar Rp.20.000,-
Pedagang: “wah ga ada uang kecil hanya ada rp. 10.000,- punya Rp.7.000 ta?”
dalam kesempatan tersebut si pembeli memliki sejumlah uang yang dimaksud. Nah
pada akhirnya pembeli menyerahkan Rp.27.000,- dan pedagang memberikan Rp.
10.000,- nya. Lagi-lagi, dalam hal ini pedagang dan pembeli mencari solusi
dalam hitung-menghitung. Hingga nyatalah bahwa perhitungan Rp.17.000
diperoleh tidak melulu dari selisih Rp. 20.000 dan Rp.3.000, atau bahkan
melalui penjumlahan Rp.10.000, Rp.5.000, dan Rp. 2.000. Secara alamiah,
pedagang pun sudah terbiasa memecahkan masalah dengan beragam kemungkinan
jawaban. Open-ended kah? J
Hehe… sepertinya akan banyak hal menarik mengenai matematika
sederhana di dalam pasar. Mudah-mudahan pengunjung blog ini tidak akan bosan
jika mungkin postingan selanjutnya masih berkutat dengan pasar J
lho, kamu mulai rajin ke pasar ya?
ReplyDeletemulai latihan jadi ibu rumah tangga,hehehe
*kabur*
iya, jadi anak berbakti dulu :)
ReplyDeletePadahal itu belum termasuk ilmu "per-ngenyang-an" dan "perdiskonan"...
ReplyDeleteKlo dipelajari di sekolah, kayaknya hal sulit, tapi kalau sudah turun ke "lapangan" jadinya mudah..
kan masih 'kayak'nya he3. diskon ada di smp. tapi kalo per-ngenyang-an itu perlu pengalaman, bukan teori ha3.
Deleteingat pepatah "alah karena biasa"
kompleksitasnya tinggi sebenere,,, tp bisa karena terbiasa itu kuncinya
ReplyDeleteya, makanya hidup itu adalah pembelajaran yg tak pernah berhenti
Delete