01/05/2013

Menjadikan Nyata

Mungkin, keimanan saya masih dangkal rupanya untuk memahami sejarah, terutama sejarah Islam. Jikalau saya sesak membaca dan mempertanyakan kebenaran sejarah perjuangan bangsa saya sendiri, amat keterlaluan rasanya saya kurang 'sreg' dalam meyakini sejaran agama saya sendiri. Sepertihalnya sebuah buku biografi seorang tokoh, buku itu ditulis dari sudut pandang penyusunnya. Tidak menutup kemungkinan si A yang menyusun biografi akan jauh berbeda hasil yang akan ditulisnya jika si B yang menyusun biografi tokoh tersebut. Namun, memutuskan untuk tidak membaca salah satu hasil tulisan tersebut tetap tidak akan mengurangi ketidaktahuan saya terhadap sejarah. Apapun itu, mengetahui sedikit hal masih lebih baik daripada tidak tahu sama sekali, meskipun suatu hari nanti saya perlu mengoreksi pemahaman keliru saya dari bacaan yang saya peroleh sebelumnya.

Kembali kepada belajar sejarah Islam, saat sekolah dasar - pagi di sekolah swasta berbasis Islam dan siang belajar lebih di bangku Diniyah- sejarah Islam atau disebut Tarikh telah menjadi salah satu makanan disana. Pun saat itu pelajaran yang saya tangkap masih dalam tataran hafalan - sekedar tahu dan hafal fakta tertulis - berdasarkan buku-buku yang disusun penulis tertentu dan telah direkomendasikan oleh guru-guru saya. Sesuatu yang kurang berbekas dalam benak saya karena lokasi ataupun tokoh belum pernah saya jumpai sebelumnya, namun saya yakin akan adanya. Beranjak ke bangku sekolah menengah-atas-dan kuliah, berada di sekolah negeri tetap dapat merasakan bagaimana mempelajari sejarah Islam dengan porsi yang tidak sebesar di sekolah dasar. Meskipun rasanya seperti melihat tayangan ulang suatu film dengan sutradara berbeda (membaca buku bertopik sama dengan penyusun berbeda). Singkat kata, saya semakin paham bahwa setiap penulis memakai kacamatanya sendiri untuk melihat suatu fakta yang akhirnya terbentuklah catatan sejarah. Pernah juga terbersit pemikiran, pastilah pemahaman tentang Islam bagi teman-teman yang mengenyam bangku pondok pesantren lebih baik daripada saya. Mereka belajar lebih banyak langsung pada tulisan-tulisan 'asli'nya, memiliki jaringan di negara asal dimana Islam berkembang pertama kali, walaupun kemungkinan perbedaan 'kacamata' itu tetap ada, literatur atau pun informasinya berkemungkinan besar masih terjaga dari sumber informasi, tidak seperti bahasa terjemahan yang beredar di pasaran. 

Sebenarnya, internet sudah menawarkan informasi-informasi tersebut dalam jumlah besar. Namun, lagi-lagi rasa 'kurang nyata' tentang tokoh dan tempat masih terasa. Hingga akhirnya kesempatan belajar di luar negeri itu datang dan mulai membuka pikiran saya bahwa kemungkinan untuk mengunjungi daerah-daerah dalam sejarah Islam pun sebenarnya ada. Jika tempat-tempat itu bisa dikunjungi, maka situs-situs tersebut dapat dicek keberadaannya bukan? Bahkan dengan pemahaman yang demikian, saya baru bisa turut merasakan kebahagiaan orang-orang yang telah berangkat ke Tanah Suci untuk berhaji, yaitu benar-benar merasa bahwa tempat-tempat suci itu benar-benar nyata. Tempat yang bisa diketahui melalui kitab suci. Tempat yang nyata dan bukan dongeng semata.

Masih berkaitan dengan internet, berkenalan dengan banyak orang yang telah menjelajahi dunia atau berasal dari belahan lain dunia cukup menambah 'rasa' nyata tempat-tempat lain dalam diri saya. Jika awalnya ber-chat ria ada ber-social network hanya sekedar memenuhi tugas penfriend dari guru bahasa Inggris semasa SMA, maka internet bisa menjadi 'pembuktian' pengetahuan yang pernah diketahui. Contoh lain misalnya, ketika berkenalan dengan orang-orang Indonesia yang berkesempatan belajar di belahan dunia lain. Dimanapun mereka berada, pasti membawa energi positif untuk menceritakan kembali hal-hal yang biasa tertulis dalam buku. Salah satu cara yang saya senangi adalah melihat foto-foto yang diambil oleh mereka. Rasanya benar-benar berbeda jika orang sebangsa sendiri (terlebih orang yang telah dikenal) menyajikan foto-foto di tempat mereka berada meskipun telah banyak fotografer kelas dunia yang mengabadikan moment atau situs yang sama. Misal teman yang berada di Belanda berfoto dengan tulip dan kincir angin seolah memanggil ingatan ketika membaca materi tentang Negara Belanda waktu belajar Geografi di SMP, atau bahkan melihat teman yang memfoto terowongan untuk mencari Haikal Sulaiman, masjid Al Aqsho, sederet situs yang tentu saja saya belum pernah mengunjunginya; dan lagi-lagi hanya terbatas lewat membacanya saja. Inilah mengapa, kombinasi antara internet - orang yang dikenal - foto/tulisan yang dihasilkan mereka, menjadikan apa yang saya baca sebelumnya menjadi lebih nyata.

Akhirnya, dengan pemahaman baru ini, bukti-bukti yang diabadikan oleh teman-teman saya cukup mendorong saya kembali untuk mempelajari sejarah Islam, terlebih membaca kembali kisah-kisah para nabi. 

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kesan dan pesan nya. Jangan kapok dan sungkan untuk berkunjung kembali :)