02/05/2013

Makanan oh makanan...


“eh bakso nya enak sekali ya”
“wah besok mau beli nasi goreng di sebelah jalan itu. Ramai lho pembelinya, sepertinya enak”

Sekelumit percakapan yang biasa terdengar sehari-hari mengenai makanan. Tak jarang, para penggemar makanan melakukan wisata kuliner demi memenuhi rasa ingin tahu akan rasa suatu makanan baru atau makanan sejenis yang disukai. Maklum, beda tangan yang memasak, beda pula rasa yang dihasilkan. Meskipun, pernah dijumpai dalam tayangan televisi, seorang pemilik sebuah depot yang memiliki ketenaran turun temurun berujar tetap mempertahankan cita rasa masakannya sampai beberapa generasi, cukup mengundang tanya saya mengenai keakuratan alat ukur yang digunakan. Namun, sepertinya tidak akan menjadi masalah, selama rasa masakan/minuman dapat diterima masyarakat, keunggulan cita rasa tetap menjadi pilihan utama selain harga. Seperti iklan sebuah produk makanan instan, ‘karena rasa ga pernah bohong’, kalimat ini agaknya bernilai benar.


Rasa yang enak dan harga terjangkau pada sebuah makanan menjadi daya tarik tersendiri untuk memuaskan lidah dan perut. Alhasil, konsumen kadang lalai memperhatikan bahan-bahan apa saja yang diolah menjadi suatu makanan, termasuk saya. Akhir-akhir ini semakin banyak saja terkuak bahwa minyak-minyak sayur atau saus yang digunakan para pedagang bukan merupakan minyak sayur biasa tetapi arak. Hmmm… benar-benar shock seketika. Krik krik krik… MSG ataupun saus mungkin bisa distop sebelum penjualnya menuang ke dalam masakan, tapi ketika botol-botol lain dituangkan ke atas penggorengan dengan tidak disertai label. Kriettttttttttttttttt… dapat dipastikan bukan percakapan ringan yang akan terjadi kemudian. Inilah mengapa, pertanyaan pribadi saya terjawab seketika mengenai hasil suatu masakan.

Dulu, saya menggemari masakan mie (berukuran lebar) goreng di suatu warung (olahan mie menjangan berukuran lebar. Info: mie menjangan ada dua jenis, mie lebar dan mie kecil. Di desa saya, ukuran lebar biasa dimasak menjadi mi kuah dan goreng dalam warung sedangkan berukuran kecil atau bahkan mie merek lain yang berbentuk keriting diolah oleh sebagian besar pedagang nasi goreng. Dua-duanya enak, hanya tampilan saja yang berbeda). Ada rasa berbeda antara buatan warung dan buatan sendiri. usut punya usut, mempertimbangkan warung tidak akan mengorbankan bumbu masakan alami dalam jumlah besar (karena mahal) maka perhatian saya tertuju pada minyak-minyak yang digunakan. Alhasil, rasa yang berbeda itu berasal dari minyak-minyak yang tidak jelas asal usulnya. Bisa saja label nya hanya minyak sayur tapi konsumen tidak akan bisa menjamin apa isi di dalamnya bukan? Oke baiklah, memasak sendiri, apapun rasanya, tetap bisa mengurangi rasa was-was terhadap apa yang akan dimakan oleh diri sendiri. Mari tetap bersyukur atas apa yang dapat kita makan, dan tidak perlu berlebih-lebihan. :)

2 comments:

  1. kalau di tempatku namanya mie jalan raya..

    memasak sendiri memang leboh aman dan menyenangkan.:)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mi cap Jalan Raya atau Mi yang di jual di dekat Jalan Raya?

      Delete

Terima kasih atas kesan dan pesan nya. Jangan kapok dan sungkan untuk berkunjung kembali :)