“Sehat itu mahal. Eh..? sebenarnya se.. sakit itu lebih mahal lho daripada sehat. Bayangkan aja berapa uang yang dikeluarkan untuk biaya pengobatan. Nah mahal kan.”
Beberapa buah dan sayur yang dikonsumsi akhir-akhir ini |
Kurang lebih begitulah kutipan langsung hasil dari mengobrol dengan seorang ibu pasca operasi katarak ketika saya mengantar ayah saya berobat ke salah satu rumah sakit mata suatu hari. Ngomong-ngomong tentang kesehatan itu memang tergantung darimana kita melihat “mahal”nya suatu kondisi. Ketika sakit, seseorang bisa saja berujar, “sehat itu mahal”. Karena ga hanya perlu biaya untuk “mengkhatamkan” perawatan di rumah sakit tapi juga perlu waktu yang tidak sebentar untuk kondisi pemulihan. Jika dilihat dari keadaan sehat, tidak mengalami sakit, itu merupakan perasaan yang membahagiakan, sehingga kita bisa berujar “sehat itu murah dan sakit itu mahal”. Memang, untuk mengerti arti “bahagia-nya” ketika sehat, seseorang perlu merasakan sakit terlebih dahulu. Namun, tidak jarang, “lupa” atas rasa yang pernah di dapat juga mempengaruhi siapa saja untuk kembali melakukan kebiasaan yang bisa membalikkan keadaannya dari sehat menjadi sakit. Meskipun, takdir Allah tetap berperan di dalam nya, seringkali apa yang kita lakukan itu kembali kepada diri kita sendiri.
Pernah beberapa kali “tidur-tiduran” di rumah sakit
cukup membuat saya merasa bahwa kesehatan adalah sesuatu yang sangat berharga
untuk dijaga dalam situasi apapun. Kadang sesekali berjalan melewati kamar ICU
saja tiba-tiba ikut merasa miriiiiiiis banget melihat keluarga pasien yang
memiliki tatapan hampa atas sanak kerabat yang ada di dalam ruang ICU. Rasanya,
saya ga pengen lagi membuat keluarga saya mengulang kejadian serupa suatu hari
nanti (semoga Allah selalu memberikan kesehatan, Aamiin), ga lagi masuk ICU
atau sekedar ngamar di RS. Stress dan kesedihan merupakan salah satu faktor
penyebab yang bisa sewaktu-waktu “membunuh” kesadaran saya untuk peduli
terhadap diri saya sendiri. Ini lah mengapa kadang-kadang saya rada “kehabisan
akal” meyakinkan beberapa orang ketika mereka memiliki kebiasaan yang bisa
mengganggu kesehatannya suatu saat nanti. Fakta dan teori aja ga cukup untuk
meyakinkan teman-teman bahkan orang-orang terdekat untuk menjaga kesehatan,
apalagi mengubah kebiasaan untuk tidak melakukan sesuatu. Kadang… rasa sakit
diperlukan untuk memperoleh pelajaran bahwa selama ini kita mungkin memiliki
kebiasaan yang salah atau tanpa sadar membuat keluarga atau orang-orang
terdekat merasa khawatir. Bagi saya yang pernah menjadi pasien, melihat wajah cemas
keluarga yang datang menjenguk/menemani lebih menyakitkan daripada injeksi
berkali-kali.
Lambat laun, saya merasa kebiasaan saya kurang sehat selama ini. Akhir-akhir ini banyak kebiasaan yang perlu diubah. Yang tadinya
penggemar mie instan mulai mengurangi frekuensi dalam mengonsumsi mi instan. Terbiasa
mengonsumsi makanan ber-MSG seperti menambahkan micin ke dalam masakan, menjadi
terbiasa makan masakan tanpa micin (tentu saja rasanya sangat tawar bin aneh
pada awalnya; merasakan bahwa makanan yang dibeli di luar rumah lebih terasa
enak daripada masakan yang dibuat didalam rumah – apalagi yang dibuat oleh saya
sendiri) yang mana terasa enak juga lama-lama. Mungkin sudah terbiasa makan
dengan rasa demikian atau skill mengolah juga sudah bertambah (walaupun tidak
akan pernah menandingi rasa yang dibuat oleh ibu saya sendiri tentunya). Lalu
kebiasaan untuk mengonsumsi minuman ber-rasa buah berubah menjadi minum hasil blender
sendiri buah-buahan yang diinginkan, mengingat bahwa harga vitamin di pasaran
juga mahal (hasil review dari para sales multilevelmarketing yang “sowan” ke
rumah, wow.. berapa ratus ribu keluar untuk menjamin asupan vitamin dan suplai
anti oksidan dalam tubuh tetap tersedia. Memang sih, saya masih sangat perlu
anti oksidan. Tapi ya… saya juga mau hemat teman..). singkatnya, hidup sehat
itu memang sulit untuk dilaksanakan tetapi bukan berarti tidak mungkin bukan? Apalagi
mengubah kebiasaan memerlukan waktu bertahun-tahun. Alhamdulillah perubahan pun
bisa terjadi karena seisi rumah juga turut mendukung menjalankan kebiasaan
sehat setiap hari. Ikut minum jus buah, ikut makan masakan non MSG tanpa
komplain, memperkecil frekuensi membeli makanan di luar rumah, bahkan melakukan
treatment yang dilakukan orang tua saya (dalam rangka menghindari kenaikan
kolesterol dalam darah mereka) menghindari konsumsi minyak berlebih dengan cara
memeras gorengan dengan kertas merang terlebih dahulu. Kebiasaan buruk lain
yang perlu ditekan dengan keras adalah mendahulukan tidur daripada makan. Ini buruk
sekali bagi perut, apalagi dalam keadaan lapar, lelah dan melewati jam makan. iya
kalau lagi puasa, kalau habis begadang dan mengabaikan jam makan itu cukup
fatal ternyata, hahahaha…
Teman… hidup sehat dan menumbuhkan kebiasaan sehat itu
menyenangkan. Mungkin yang saya lakukan masih sedikit sekali dari berjuta cara
sehat yang beredar di luar sana. Namun, rentang waktu dalam hidup itu adalah
waktu untuk terus belajar menjadi orang yang baik bukan? Terlepas dari
ketentuan ajal itu telah ditentukan oleh Allah, bisa melihat bahwa
keluarga/orang-orang kita cintai tidak merasa was-was atas kebiasaan yang kita
lakukan, bukankah itu sudah merupakan suatu kebahagiaan?
Mari kita jaga kesehatan tubuh kita J
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kesan dan pesan nya. Jangan kapok dan sungkan untuk berkunjung kembali :)