22/07/2012

Sekedar cerita seputar Ramadhan


Alhamdulillah bulan Ramadhan kali ini bisa berkumpul bersama keluarga. Meskipun dalam keluarga besar perbedaan tentang awal puasa selalu ada, tetapi itu sekarang tidak menjadi sesuatu yang rumit karena bisa dibilang 'terbiasa' menghadapi perbedaan awal-akhir Ramadhan. Pemandangan biasa saat bulan Ramadhan datang kembali terpampang. Masjid-masjid menjadi ramai di hari-hari awal Ramadhan dengan komposisi dewasa muslim yang ingin beribadah 'lebih' dari hari biasanya; dan sebagaian yang lain adalah anak-anak sekolahan 'pemburu' tanda tangan khotib. Hal menarik lainnya adalah bertebaran lah pedagang makanan kecil sampai berat, minuman manis dan berwarna, di beberapa lokasi-lokasi tertentu.

Akan tetapi contoh di atas hanya berlaku di negara tercinta (belum tahu kalau di negara Muslim lain).  Jangankan suasana ramai Ramadhan terasa, sehari-hari berada di negara non muslim menjadi momen-momen 'pengumpulan rasa syukur' ketika berada di negara tercinta. Sebagai contoh, terbiasa 5 kali sehari mendengar adzan dari TOA-TOA masjid, kali itu terasa sepi sekali. Meskipun HP/Laptop diset jadwal waktu sholat daerah setempat, atau bahkan beberapa teman me-loudspeaker kan adzan dari perangkat elektronik mereka rasanya tetap ada yang kurang. Seperti mendengar jam weker dengan bunyi ringtone tertentu saja, tanpa nyawa. Contoh lain, bisa menemukan komunitas muslim di kampus itu sangat membahagiakan. Ada tempat sholat sekaligus menyediakan buka puasa gratis untuk mahasiswa muslim sangat membantu sekali karena selain bisa segera berbuka tentunya (waktu itu ada kuliah yang selesainya mepet-mepet maghrib), teman-teman dan saya bisa bertemu mbak-mbak yang non-Indonesian. Jujur saja, pertama kali makan, kami ga biasa dengan menunya. Saya kira itu nasi kebuli dengan banyak modifikasi hehe.. tapi karena penasaran saya bertanya pada seseorang didekat saya dan ia menjawab itu masakan Pakistan. Intinya... whatever the name lah, alhamdulillah bisa berbuka puasa dengan makanan halal (gratis pula)  :D Selain itu, ketidakbiasaan rasa sepertinya menghilang ketika sehari sebelum hari raya. Ada teman nyletuk, "Eh masakannya lho enak" (yang langsung disanggah teman lain, "Enak,, opo ancen wes kebiasaan?" :D Jadi, yang namanya masakan itu sebenarnya tidak ada yang 'Enak Mutlak' atau 'Sangat Enak' atau 'Ga enak banget' dengan kata lain, semuanya itu hanya berdasar dengan 'apa yang biasanya dirasakan'. Oleh sebab itu, kita dilarang untuk menghina rasa makanan bukan? Sangat tidak menghargai namanya :) Ada lagi tempat yang tidak mungkin dilewatkan adalah acara buka bersama di konjen Indonesia di Perth. Tidak tahu tepatnya berapa kali mereka mengadakan buka bersama saat Ramadhan, teman-teman dan saya sempat sekali berbuka puasa disana. Perlu kurang lebih setengah jam dari kampus untuk mejangkau tempat itu (naik bis 72 atau 75, kalo 288 agak lama kayaknya dan start dari dekat kos) dan bertemu dengan orang-orang Indonesia disana. Anyway, seperti apapun lauknya, meskipun cuma pecelan tempe saja ditemani teh hangat, berbuka dengan keluarga di Indonesia tetap ga ada matinya.

Kembali ke negara sendiri, seramai apapun sengketa yang ada (awal-akhir ramadhan, penentuan hai raya Iedul Adha), selama di negara ini, saya masih mudah menemukan tempat sholat Ied di dua waktu yang berbeda. Mengapa demikian? Begini ceritanya.. Tahun lalu, di Indonesia sepertinya terjadi perbedaan hari raya kalau tidak salah hari Selasa dan Rabu. Bersama seorang teman, saya hari Selasa mencari lokasi sholat Ied (ternyata ga cuma di Indonesia saja terjadi perbedaan, di Perth juga ada hal semacam itu) di suatu wilayah. Hehe.. namanya juga naik public transport dan baru pertama ke daerah itu, akhirnya kami memang menemukan lokasi yang dituju tetapi sudah selesai sholatnya :D. Lalu, apakah konjen tidak mengadakan sholat Ied. Ada, dan mereka menyelenggarakannya pada hari Rabu. Karena waktu itu saya berkeyakinan hari raya nya Selasa, waktu hari Rabu saya hanya ikut saja tetapi tidak melaksanakan sholat. Selain itu, sebagai orang yang menetap sebentar saja di negara baru, rasanya belum begitu 'mahir' dengan seluk beluk kota dan penyelenggaraan keagamaan. Jadi, mencari tempat sholat pun tidak semudah di negara yang mayoritasnya adalah muslim.

Satu hal yang selama ini mengganjal. Apakah, para pemberi keputusan di pemerintahan itu benar-benar memutuskan tanggal sebenar-benarnya? Bukan sekedar ego belaka? Mungkin, di Indonesia perbedaan-perbedaan tgl itu tidaklah terlalu nampak GAP nya. Namun keputusan mereka yang kemudian disalurkan ke seluruh konjen di dunia cukup mendapat 'respon' bagi WNI dimanapun mereka berada. Ketika segelintir WNI pergi ke suatu negara, dengan adanya perbedaan tanggal itu baik pelaksanaan dan kebersamaan nya menjadi sedikit berkurang. Ini bukan sekedar saling menghujat perbedaan tgl (biasanya di fesbuk disertai dengan artikel-artikel meyakinkan argumen dalam statusnya) tapi lebih bagaimana menjaga persatuan muslim Indonesia dimanapun mereka berada, terlebih yang berada di negara non-muslim yang menjadi mayoritas.





2 comments:

  1. jadi terharu baca cerita tentang pengalaman ramadhan di negeri orang.
    Kadang kita yang di negeri muslim kurang bersyukur terhadap nikmat kemudahan untuk melakukan ibadah puasa.

    ReplyDelete

Terima kasih atas kesan dan pesan nya. Jangan kapok dan sungkan untuk berkunjung kembali :)