16/10/2011

Dulu terabaikan

Teman, berada di tempat yang benar-benar baru perlu meningkatkan rasa kewaspadaan penuh. Salah satunya makanan. Jika sebelumnya saya pernah terjegal dengan yang namanya MSG dan kawan-kawan, maka kali ini masalah makanan lebih pada sesuatu yang sangat mendasar, yaitu ke Halalannya. Mungkin dulu logo halal dapat dengan mudah ditemukan di toko-toko penjual makanan ringan, atau bahkan membeli ayam di ‘orang yang dipercaya’ pun dapat dilakukan dengan ringan, maka sekarang tidak akan bisa semudah itu. Namun tidak jarang juga di negara sendiri, para makanan berlogo halal pernah dinyatakan tidak halal setelah ditemukan beberapa kandungan yang ‘bermasalah’ beberapa tahun kemudian, kandungan yang biasanya ditampilkan dalam E-code series he3


Mengingat waktu yang lalu ketika beli bakso, nasi goreng yang ada ayamnya, soto, rawon, gudeg, dan aneka makanan yang bisa dibeli “dengan hati ringan” di Indonesia, kini seringkali membuat bersungut-sungut dan kadang membuat saya dan teman-teman tertawa setelah mengkonsumsi makanan yang halal. “Eh biyen lho aku ga atek ngecek ngene iki. Angger maem ae.. Padahal yo masio sing dodol muslim durung karuan sing dol iku halal”. Bila dibandingkan waktu yang lalu dengan saat ini benar-benar berbeda. Setiap akan membeli makanan kemasan (makanan ringan dan bukan daging) kami mengecek deretan ingredient yang ada. Bahkan untuk seseorang yang seperti saya (kalau berbelanja sudah diatur sedemikian hingga waktu yang diperlukan bisa cepat; langsung ambil produk dan pergi ke kasir setelah mengecek harga terlebih dahulu tentunya) perlu meng-input-kan satu demi satu kode-kode “tidak jelas” dari suatu produk tertentu, ke dalam software yang mendaftar kode-kode bahan halal atau tidak. Maklum, disini produsen berat hati meletakkan barang-barang ber-cap halal karena penduduk lokal takut dengan logo tersebut, dikira produk teroris. Selain itu, produk halal lebih mahal harganya daripada yang lain. Kemudian, kalau ingin berbelanja daging sapi/ayam perlu mendatangi toko yang mempunyai sertifikasi halal. Meskipun kadang iseng sempat mempertanyakan kredibilitasnya, kami percaya bahwa itu adalah bentuk responsibility dari pemilik butcher terhadap pelanggannya. Dulu waktu ke pasar, saya nggak pernah sekalipun merasa serumit ini menentukan kehalalan suatu daging, asal mendatangi mereka yang menjual daging sapi saja (di pasar yang bukan langganan; daerah yang baru dikenal) dan tetap mendatangi seseorang yang dipercayai dan terjamin kehalalan daging yang dijual karena sudah kebiasaan/langganan.

Salah satu hal yang dilematis adalah ketika bertemu orang baik, apalagi orang baik tersebut tinggal serumah. Ketika salah seorang ibu muda mempunyai kue yang berlebih, kami mendapat kesempatan untuk menerima sebagian kue tart. Waktu itu yang menerima kue tersebut adalah teman saya. Sambil harap-harap cemas, kami mendengar percakapan dari ruangan lain yang kurang lebih seperti ini:
  • A: “here is a cake of my daughter’s birthday”
  • B: “oh thank you. What is the ingredient?”   ß (THE IMPORTANT QUESTION WHEN YOU RECEIVED FOOD)
  • A: “oh. I don’t know. I bought it. Do you have any allergic?”
  • B: “oh, I just want to know if there is something that I haven’t allowed to eat it”

Ket:
A: ibu muda
B: teman saya

Ibu muda itu sudah maklum kalau kami tidak mengkonsumsi jenis makanan tertentu. Waktu awal tentu saja dia sangat heran mengapa kami membeli seperangkat alat dapur sendiri, padahal sudah tersedia peralatan yang bisa di-share untuk seluruh warga di rumah itu.

Yah, begitulah teman. Berada di luar negara asal benar-benar bisa menambah rasa ‘ke-awas-an’ untuk menjaga sesuatu yang diyakini. Sesuatu yang biasanya adalah ‘biasa saja’ dan mungkin terabaikan karena menurunkan ‘ke-awas-an’ dalam memilih sesuatu yang sudah dipercaya ke halal an nya. Hehe.. 


No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kesan dan pesan nya. Jangan kapok dan sungkan untuk berkunjung kembali :)